FLASHBACK TO 1998 : REFLEKSI HARI LINGKUNGAN HIDUP SEDUNIA 2020

“The foods we eat, the air we breathe, the water we drink and the climate that makes our planet habitable all come from nature.

Yet, these are exceptional times in which nature is sending us a message:
To care for ourselves we must care for nature.

It’s time to wake up. To take notice. To raise our voices.
It’s time to build back better for People and Planet.

This World Environment Day, it’s Time for Nature.

Inilah paragraf pembuka halaman website www.worldenvironmentday.global dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia tahun 2020.

***

Halo Sobat Geos, bagaimana kabar Anda? Semoga Anda tetap sehat fisik dan mental walau di tengah situasi pandemi yang sangat berat ini. Baik Sobat, saya akan mulai artikel ini dengan pertanyaan : apakah saat pandemi seperti ini Anda masih membutuhkan makanan untuk bertenaga? masihkah Anda butuh udara untuk bernafas? dan apakah Anda masih butuh air untuk minum menghilangkan dahaga? Jika jawabannya iya, renungkanlah pertanyaan tersebut sambil Anda membaca cerita ini!.

Anak-anak generasi milenial (termasuk saya) adalah orang menyaksikan perubahan dunia yang sangat cepat sejak penghujung abad ke-20 hingga sekarang. Perubahan tersebut terjadi pada semua aspek kehidupan kita, tak terkecuali pada aspek lingkungan hidup. Untuk mengajak Anda berpikir tentang perubahan kondisi lingkungan hidup ini, saya mau mengajak anda flashback pengalaman pribadi hidup saya. Sekitar tahun 1998an, saya tinggal di batas antara kota Tangerang dengan Jakarta. Saya masih teringat kenangan saat itu, sewaktu saya masih kanak-kanak. Setiap bangun pagi selalu disambut dengan suara burung gereja yang sedang hinggap di atap rumah. Menjelang siang banyak kupu-kupu berwarna kuning menghiasi sekitar pepohonan berbunga. Sore harinya, saya dan teman-teman sangat asik menatap burung-burung (yang belum pernah kami lihat bagaimana rupanya) dan kelelawar banyak beterbangan menghiasi langit yang berwarna jingga. Malam harinya, kaki saya disambut katak yang melompat-lompat saat saya berjalan menuju rumah sepulang dari bermain atau mengaji. Terkadang saya juga bermain di dekat kanal yang airnya bersih, mengalir dan banyak ikan-ikan kecil.

Namun kenangan indah ini perlahan benar-benar hanya tinggal kenangan. Dari tahun ke tahun, apa yang saya sebutkan diatas satu persatu menghilang. Entah apa penyebabnya, namun saya yakin bahwa ini “hanyalah” rangakaian perubahan kecil yang mampu saya lihat saat itu, dari sebuah perubahan besar yang sedang terjadi namun belum bisa saya pahami sampai saya ada di usia sekarang. Apa itu? baik, saya akan coba jelaskan pelan-pelan.

Membaiknya kondisi sosio-politik-ekonomi Indonesia pasca krisis ekonomi tahun 1998 menjadikan masyarakat kita semakin maju dan menciptakan peluang baru tumbuhnya industrialisasi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Jakarta sebagai Ibukota negara yang menjadi pusat keramaian manusia, menarik perhatian para pebisnis untuk menjadikan kota ini sebagai “center of market”. Mereka kemudian memilih “pinggiran kota”, salah satunya tempat saya tinggal ini, sebagai kawasan industri baru agar dekat dan murah dalam mendistribusikan produknya ke pasaran. Pabrik-pabrik dan kompleks pergudangan pun akhirnya dibangun dengan menggusur lahan yang semulanya adalah sawah, kebun atau sekedar lahan tak berfungsi yang ditumbuhi tanaman obat dan pepohonan besar. Tak cukup sampai situ, keberadaan pabrik ini jelas memancing kedatangan kaum transmigran yang mencari lapangan pekerjaan dan kemudian bekerja sebagai pegawai kantor maupun sebagai buruh. Kedatangan mereka memaksa lahan sekitar semakin terbatas dan beralih fungsi menjadi pemukiman padat yang terdiri dari rumah pribadi maupun kontrakan untuk tempat tinggal kaum pekerja ini. Tidak hanya itu, perusahaan properti swasta pun berlomba-lomba membangun kompleks perumahan untuk menyediakan hunian kalangan eksekutif. Lahan di sekitar kami yang semulanya menghasilkan sebagian bahan makanan dan obat untuk penduduk setempat, kini sudah berubah menjadi hutan beton. Mungkin inilah sebebanya mengapa burung-burung, kelelawar, kupu-kupu sudah jarang saya ditemukan disana. Ya, karena mereka kehilangan habitat. Alih fungsi lahan adalah masalah pertama.

Sawah dan kebun yang hilang membuat penduduk setempat harus membeli beras dari yang semulanya mereka menanam padi sendiri. Masih ada sebagian sawah yang tersisa di antara pabrik-pabrik, namun sawah tersebut sudah tak lagi produktif karena pencemaran air dan tanah oleh limbah industri yang tidak diproses terlebih dahulu. Saya juga bingung mengapa tidak ada tindakan tegas pemerintah dalam menangani hal ini. Kanal yang semula airnya bening, kini airnya berwarna hitam pekat dan baunya sangat menyengat seperti bau pelumas. Kalau sudah seperti ini masihkah kita berharap ada ikan yang hidup disana?. Pencemaran air adalah masalah kedua.

Belum lagi sampah harian dalam jumlah banyak yang dihasilkan dari rumah tangga. Sampah tersebut dibuang di pusat pembuangan sampah lokal yang tidak resmi dan tidak terurus meski kini sudah ada pengelola dari pemerintah. Karena minimnya pendidikan, beberapa penduduk membakar sampahnya sendiri, dan ini menyebabkan pencemaran udara. Keberadaan pabrikpun berdampak pada kualitas udara. Penduduk merasakan adanya peningkatan kadar debu yang masuk ke rumah mereka. Kalau seperti ini berarti cukup banyak debu yang mengambang di udara bukan? Apa artinya? Jangan merasa aneh jika muncul penyakit pernafasan di kemudian hari! Pencemaran udara dan dampaknya ini adalah masalah ketiga.

Kalau kerusakannya sudah seperti ini siapakah yang harus bertanggung jawab? Apakah para “korban tidak langsung” ini  boleh menuntut hak mereka kepada para pemilik pabrik? Atau menyalahkan pemimpin yang mengizinkan adanya pembangunan kawasan industri disana? Dan jika sudah ditetapkan siapa yang harus bertanggungjawab, apakah kondisi lingkungan bisa dikembalikan seperti semula? Sepertinya sulit. Jadi bagaimana? Ya, penduduk disana hanya diminta untuk berdamai dengan keadaan! Mereka dipaksa menjadi korban pencemaran yang tak berdaya. Padahal air, udara dan tanah adalah elemen penting untuk mendukung  kehidupan mereka. Tapi, nampaknya itu tak akan ada di dalam benak kaum kapitalis. Ya, kepentingan ekonomi dan pelestarian lingkungan nampaknya memang sulit untuk bersatu.

Dari kisah yang skala ruang dan waktunya sempit ini, saya mendapatkan sebuah pola dari kerusakan lingkungan, yaitu  sebagai berikut, (1) bermula dari suatu tempat menjadi tempat yang menarik perhatian orang untuk tinggal disana, (2) orang-orang berdatangan dan hampir/mencapai titik over-populated, (3) adanya perubahan fungsi lahan, dan (4) menurunnya kualitas lingkungan karena pencemaran dan sudah tidak hadirnya elemen pendukung lingkungan.

Dengan demikian, saya dapat meringkas bahwa kerusakan ini bermula dari izin yang diberikan oleh pemimpin yang berwenang kepada pebisnis untuk mengalihfungsikan lahan. Hal ini memunculkan efek domino hingga menimbulkan kerusakan lingkungan karena ulah pebisnis yang tidak bertanggungjawab selama eksekusinya.

Saya rasa apa yang saya ceritakan di atas adalah hal yang lumrah terjadi di kota-kota yang mengalami industrialisasi di Indonesia seperti Karawang, Sidoarjo, dan Pasuruan. Mungkin pinggiran kota di negara-negara Emerging 7 lainnya juga merasakan hal yang sama. Yuk kita bersuara! (YBM)

(Konten dari artikel ini menjadi tanggungjawab penulis seutuhnya)

oleh : Yan Bachtiar Muslih

Divisi LITBANG FGMI

Admin2 FGMI

Leave a comment

  • Jaringan

  • Follow Us On Instagram

  • Crown palace Blok C No. 28
    Jl. Prof. Dr. Supomo SH. No 231
    Tebet, Jakarta 12870

    Telp:(021) 83702848 - 83789431
    Fax: (021)83702848
    Email: sekretariat@fgmi.iagi.or.id