ESK-24 di Balikpapan: Melirik Pengembangan Shallow Gas di Lapangan Tunu, Blok Mahakam

Para Narasumber dan Peserta ESK-24, 2016 di Balikpapan
Para Narasumber dan Peserta ESK-24, 2016 di Balikpapan

Balikpapan, FGMI Online – Forum Geosaintis Muda Indonesia (FGMI) bekerja sama SM-IAGI STT Migas Balikpapan mengadakan acara Experience Sharing Knowledge (ESK)ke-24 di Balikpapan untuk pertama kalinya pada hari Minggu, 29 Mei 2016.

Kegiatan ESK kali ini menghadirkan empat pembicara untuk membahas berbagai isu menarik mengenai eksplorasi dan pengembangan shallow gas, baik dari kajian geologi dan geofisika serta risikonya di dalam pengeboran.

Tema tersebut diambil oleh karena selama ini di Blok Mahakam, khususnya lapangan Tunu milik Total E & P Indonesie (TEPI) sangat menghindari zona dangkal untuk menjadi target reservoir. Akan tetapi, zona dangkal di lapangan Tunu, Blok Mahakam kini justru dicari. Selain itu, acara ini bertujuan untuk membawa peserta memahami lebih dalam mengenai seluk-beluk Blok Mahakam, khususnya Lapangan Tunu mulai dari kajian geologi, geofisika, dan operasi pengeborannya.

Sesi pertama dipaparkan oleh Argo Wuryanto, Geologist Tunu Shallow TEPI. Argo membawakan presentasi yang berjudul “Developing Shallow Reservoir Target – Mahakam (Lower Kutai Basin).Menurut Argo, lapangan Tunu pada awalnya merupakan lapangan raksasa di blok Mahakam yang memiliki luas sebesar 75km x 18km. Lapangan tersebut pertama kali ditemukan tahun 1967-1974 dan proses produksi dimulai pada 1990-1994. Selanjutnya, pengembangan industri dimulai tahun 1995 dan berlangsung hingga saat ini.

Dahulu, kegiatan pengeboran di Lapangan Tunu selalu menghindari reservoir-reservoir di zona dangkal. Hal ini dikarenakan terdapat banyak shallow gas atau yang lebih dikenal dengan biogenic gas di daerah tersebut. Gas biogenik merupakan gas yang diproduksi bakteri metanogenik pada suhu 750C. Proses kimia yang terjadi pada gas biogenik adalah reduksi dan fermentasi. Untuk proses reduksi terjadi pada lingkungan laut (marine) sedangkan proses fermentasi pada lingkungan laut dalam (deepwater). Kedua proses tersebut akan menghasilkan gas methana (CH4) dan karbondioksida (CO2). Proses tersebut sangat berkaitan dengan rata-rata pengendapan dari sedimen dan suhu yang cocok untuk terbentuknya gas methana.

Adapun penyebaran gas biogenik di Indonesia dapat dilihat pada beberapa lapangan, yaitu:

  • Lapangan Wunut – Lapindo: Volkaniklastik, kedalaman tidak diketahui.
  • Lapangan Karangringin – Pertamina: Marine sediment pada kedalaman 300-400m.
  • Lapangan Bentu – EMP: Marine sediment pada kedalaman 600-700m.
  • Lapangan Tunu – Total: delta.

Secara konsep stratigrafi, prograding sedimentation sangat berlaku di Mahakam. Bentuk sungai Mahakam yang berkelok-kelok membuat arus sungai di hulu sangat kuat sedangkan begitu ke arah laut arus semakin lemah. Peristiwa tersebut membentuk adanya prograding sedimentation. Semakin ke atas semakin kasar (prograde) sehingga akan ditemukan channel yang semakin tebal dan terkoneksi. Secara umum siklus regresif (penurunan muka air laut) bekerja lebih dominan dibandingkan dengan siklus transgresi (kenaikan muka air laut).

“From hazard becoming targets” merupakan istilah yang tepat untuk membahas shallow gas di Tunu. Data-data Log (Gamma Ray, Resistivity, Density, dan Neutron), Total Gas, dan akusisi seismik sumur main zone, keseluruhannya dipakai untuk eksekusi shallow target. Dengan berbekal data-data tersebut, Total E & P Indonesie mulai melakukan pengeboran di zona dangkal tahun 2011 sampai dengan sekarang.

Sesi kedua diisi oleh Rangga Bramantio, Head of Geophysic TEPI. Didampingi oleh Debrina Sugiarto, keduanya memaparkan keberhasilan Total E & P Indonesie dalam menemukan potensi sumber gas dari lapangan raksasa Northwest Tunu 3D (NWT 3D) di Blok Mahakam yang berpotensi dengan kandungan gas sebesar 700 juta kaki kubik.Potensi gas itu diyakini dapat mendukung seluruh lapangan yang masih dipakai Total. Melakukan survei seismik 3 dimensi di Lapangan Tunu tentunya bukan proses yang mudah. Banyak hal yang harus dikorbankan dalam melakukan seismik untuk mencari potensi minyak atau gas bumi di bawah permukaan.

Pada Oktober 2014 lalu, perusahaan TEPI menyelesaikan survei seismik 3D di Lapangan Tunu yang telah berlangsung sejak April 2012. Kegiatan tersebut dilaksanakan untuk menentukan dan mencari lokasi reservoir yang menjadi target pengeboran dan lokasi sumur, di zona Northwest Tunu. Berbagai tantangan harus dihadapi pada saat melakukan survei seismik ini, oleh karena Lapangan Tunu berada di daerah rawa-rawa hutan mangrove sehingga banyak terdapat tambak udang, sungai, dan instalasi GTS. Pekerjaan tersebut harus dilakukan secara hati-hati oleh karena kegiatan seismik menggunakan teknologi peledakan mutakhir, peralatan dalam jumlah besar, serta melibatkan ribuan pegawai.

Setelah survei seismik dilakukan, berlanjut ke tahap berikutnya yaitu processing data, akusisi, dan interpretasi. Dilihat dari litologinya, reservoir di Lapangan Tunu ini terdiri atas interkalasi shale, sand dan coal. Keseluruhannya tipis-tipis, akan tetapi jumlahnya sangat banyak. Rata-rata kolom gas di Lapangan Tunu adalah berkisar 6meter dan yang paling tebal sekitar 16meter. Adapun gas bearing sand vs coal dapat dibedakan pada seismik dengan menggunakan seismic processing. Metodologi geofisika yang digunakan pada Tunu Shallow yaitu: gas discrimination, surface extention/ connection, quantitative: net pay to reserve, dan well design.

Sesi terakhir membahas tentang resiko operasi shallow gas selama pengeboran oleh Roy Lesmana, Deputy Well Geology and Petrophysic Department, Total E & P Indonesie. Roy memaparkan soal shallow gas secara umum dan prosedur pada shallow gas.

Shallow gas terakumulasi pada kedalaman dangkal. Hal tersebut dapat ditemukan selama proses pengeboran. Dengan tekanan formasi pada kedalaman dangkal, kekuatan shoe sebelumnya tidak dapat menahan jika ada tendangan (kick). Hal ini dikarenakan litologi pada kedalaman dangkal didominasi oleh material lepas seperti pasir (sand), lempung (clay), dan gambut (peat) serta pada shallow gas drilling hanya dilengkapi diverter untuk menahan tekanan formasi yang maksimal tekanan 500psi.

Adapun beberapa bahaya selama pengeboran shallow gas adalah:

  1. Swabbing: disebabkan oleh kehilangan hidrostatik lumpur pada sumur dan tendangan shallow gas pun terjadi. Trip out pipe pada zona shallow gas biasanya dilakukan dengan pumping out of hole untuk mencegah swabbing.
  2. Mud Weight (MW): selama pengeboran terjadi MW harus konsisten. Jika MW >>> tekanan formasi maka akan terjadi cracking di dalam formasi. Sebaliknya, jika MW <<< tekanan formasi maka akan terjadi swabbing.
  3. Jika kecepatan penetrasi (rate of penetration/ROP) terlalu cepat dan tidak seimbang dengan kebersihan sumur (good hole cleaning) sehingga beban di annulus akan semakin berat sejalan dengan kenaikan Equivalent Circulating Density (ECD). Hal ini yang meyebabkan keretakan (fracture) pada formasi.

Untuk menanggulangi itu semua maka seluruh kegiatan pengeboran pada shallow gas harus mengikuti prosedur sebagai berikut:

  1. Investigasi shallow gas dengan data seismik.
  2. Seleksi tipe anjungan (rig) untuk lepas pantai (offshore) yang menyediakan perlengkapan selama zona shallow gas.
  3. Alat yang spesifik untuk pengeboran zona shallow gas.
  4. Prosedur spesifik untuk pengeboran zona shallow gas.
  5. Mempersiapkan sumber daya manusia yang baik untuk mencegah terjadinya human error.

Roy menceritakan pengalamannya pada saat menjadi Wellsite Geologist TEPI bahwa Safety First merupakan hal yang krusial. TEPI akan memberikan STOP CARD untuk siapa pun yang tidak mengikuti aturan yang berlaku selama pengeboran terjadi dan di kawasan anjungan. Sebelum pengeboran shallow gas dilakukan, terdapat beberapa persiapan yang dilakukan baik oleh Company Man, Wellsite Geologist, Mud Supervisor dan seluruh anggota yang terlibat di dalam pengeboran tersebut. Tahapan persiapan ini terdiri antara lain yaitu:

  1. Safety meeting: dilakukan sebelum melakukan pekerjaan pengeboran shallow gas. Safety meeting dipimpin langsung oleh Company Man.
  2. Mengecek berat jenis lumpur dan bacaan gas yang terekam pada alat di Mudlogging Unit.
  3. Membersihkan Conductor Pipe (CP).
  4. Pada pengeboran shallow gas harus ada senior baik itu senior Company Man, Wellsite Geologist, Driller, dan seluruh senior di bagian pekerjaan lain yang menunjang kegiatan shallow gas.
  5. Diverter harus sudah siap. Diverter ini berfungsi untuk menahan jika terjadi tendangan tekanan formasi. Perlu diingat bahwa diverter hanya dapat menahan tekanan formasi maksimal 500psi.

Keseluruhan ESK 24 berjalan lancar dan begitu banyak materi yang rinci, mengutamakan safety, dan memberikan pengetahuan baru mengenai shallow gas yang didapat oleh peserta. FGMI mengucapkan terimakasih kepada Argo Wuryanto (Geologist Tunu Shallow TEPI), Rangga Bramantio (Head of Geophysic TEPI), Debrina Sugiarto, serta Roy Lesmana (Deputy Well Geology and Petrophysic Department, TEPI) atas kesediaannya menjadi pembicara. FGMI juga mengucapkan banyak terima kasih atas seluruh peserta akan kehadiran dan partisipasinya dalam ESK 24, serta tentunya kepada SM-IAGI STT Migas Balikpapan atas kerjasamanya dalam penyelenggaraan ESK 24.

Redaksi FGMI

Leave a comment

  • Jaringan

  • Follow Us On Instagram

  • Crown palace Blok C No. 28
    Jl. Prof. Dr. Supomo SH. No 231
    Tebet, Jakarta 12870

    Telp:(021) 83702848 - 83789431
    Fax: (021)83702848
    Email: sekretariat@fgmi.iagi.or.id