ESK 23 – Field Trip Borobudur: Teratai di Tengah Danau

Yogyakarta, FGMI Online – Forum Geosaintis Muda Indonesia (FGMI) kembali menyelenggarakan acara Experience Sharing Knowledge (ESK) ke-23 pada hari Sabtu – Minggu, 28 – 29 Mei 2016 di Yogyakarta. Acara ESK 23 merupakan acara pertama yang sekaligus menjadi peresmian FGMI chapter Yogyakarta.

Peresmian FGMI Chapter Yogyakarta
Peresmian FGMI Chapter Yogyakarta

Acara ESK kali ini terbagi menjadi dua acara. Pada hari pertama, Sabtu, 28 Mei 2016, diadakan pembekalan fieldtrip di kampus UPN “Veteran” Yogyakarta. Acara kedua pada hari Minggu, 29 Mei 2016 diisi dengan kegiatan field trip di area sekitar Candi Borobudur. Peserta field trip terdiri dari mahasiswa S-1 dan S-2 Teknik Geologi dan Teknik Kimia UPN, Teknik Geologi UGM, seta mahasiswa S-3 Teknik Geologi dan Geofisika UGM, IST AKPRIND. Tema ‘Teratai di Tengah Danau’ menceriakan kegiatan ESK 23 dan merupakan tema yang menarik untuk menunjukkan keunikan dan keindahan Borobudur, terutama dari aspek geologis.

Pembicara dalam ESK kali ini adalah Dr. Ir. Helmy Murwanto, M.Si. dan Ir. Sutarto, M.T.. Kedua pembicara bersama dengan tim peneliti UPN telah mendedikasikan waktunya dengan melakukan penelitian di sekitar candi Borobudur sejak tahun 1996.

Sebagai gambaran awal, Dr. Ir. Helmy bercerita tentang W.O.J Nieuwenkamp, seorang seniman dan arsitek Belanda yang menulis buku yang berudul Fiet Borobudur Meer (Danau Borobudur) pada tahun 1931. Di dalam bukunya, beliau menulis Candi Borobudur yang dibangun di atas sebuah danau purba, sehingga Candi Borobudur dapat disimbolkan seperti bunga teratai yang mengapung di atas kolam.

Hipotesis danau purba Nieuwenkamp tidak digubris oleh Van Erp yang menjadi pemimpin tim pemugaran Candi Borobudur pada tahun 1907-1991 oleh karena tidak didukung dengan bukti yang kuat. Untuk membuktikan hipotesis Nieuwenkamp tersebut, Dr. Ir. Helmy menggunakan bukti geologi dan toponim (asal mula penamaan daerah).

Bukti geologi yang digunakan Dr. Ir. Helmy adalah penemuan lempung hitam yang merupakan produk endapan danau. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lempung hitam di sekitar Borobudur mengandung banyak pollen dari tanaman komunitas rawa atau danau, antara lain Commelina Cyperaceaea, Nymphaea stellata dan Hydrocharis, juga fosil kayu. Setelah diteliti dengan analisis radio karbon C-14, diketahui bahwa lempung pada bagian atas ini berumur 660 tahun. Singkapan lempung hitam terjauh memiliki jarak 8 (delapan) kilometer dari Borobodur, yang setelah didata menghasilkan perkiraan umur 1,000 (seribu) tahun.

Penemuan Lempung Hitam yang Merupakan Produk Endapan Danau
Penemuan Lempung Hitam yang Merupakan Produk Endapan Danau

Di sepanjang sungai sekitar Candi Borobudur terdapat banyak jalur air yang masuk ke arah sungai. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan litologi. Soil yang berada di atas endapan lempung hitam tidak dapat melolosakan air ke bawah karena sifatnya yang kedap lempung, sehingga banyak air yang keluar di sepanjang teras sungai pada batas litologi.

Terdapat pula interpretasi bahwa danau tersebut pada awalnya merupakan bagian dari laut yang terjebak. Alasan dari interpretasi ini adalah ditemukannya beberapa sumur yang berair asin di Desa Cadirejo, Sigug dan Ngasinan.

Candi Borobudur dipercayai dibangun pada sebuah bukit yang terbentuk karena timbunan endapan material volkanik dari gunung-gunung yang mengitarinya. Timbunan endapan material vulkanik tersebut terbawa oleh Sungai Pabelan dari Gunung Merapi, Sungai Elo dari Gunung Merbabu, dan Sungai Progo dari Gunung Sumbing dan Sindoro.

Sungai-sungai di sekitar Borobudur pada mulanya bermuara ke Danau Purba. Namun, oleh karena aliran sungai semakin lama semakin terbendung oleh material vulkanik, pada akhirnya danau ini mengering yang menyebabkan sungai-sungai tersebut mencari jalurnya sendiri hingga kini mengarah ke Laut Selatan.

Bukti toponim (asal mula penamaan daerah) menunjukkan bahwa banyak nama dusun dan desa yang menunjukan lingkungan perairan. Misalnya, Desa Bumi Segoro yang terletak di sebelah barat daya Borobudur, dapat diartikan sebagai: “bumi”, yang berarti daratan dan “segoro”, yang berarti laut atau danau. Selain itu, terdapat juga Desa Sabrang Rowo di sebelah selatan Borobudur, dimana “sabrang” berarti menyebrang dan “rowo” berarti rawa atau danau. Ada juga Desa Kapalan yang dipercayai sebagai desa penghasil kapal yang digunakan untuk menyebrang ke Borobudur.

Penelitian yang dilakukan Dr. Ir. Helmy dan Ir. Sutarto memiliki tujuan untuk memahami sejarah perkembangan lingkungan sekitar Borobudur. Sejarah ini dimulai dari awal terbentuknya, yakni dugaan air laut yang terjebak sehingga berkembang menjadi danau, hingga kemudian berubah menjadi rawa dan pada akhirnya menjadi sebuah daratan.

Lebih dari sekadar tempat wisata, Borobudur memberikan material yang menarik untuk diteliti dari sisi geologisnya. Penelitian yang telah dilakukan patut diapresiasi dan dijadikan pembelajaran. Acara ESK 23 ini tentunya menghasilkan manfaat yang sangat besar dan diharapkan dapat menjadi awalan dari banyak kegiatan menarik lain di Yogyakarta di masa mendatang.

FGMI mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Ir. Helmy Murwanto, M.Si. dan Ir. Sutarto, M.T., seluruh tim peneliti UPN, dan para peserta ESK 23 atas partisipasinya dalam kegiatan field trip Borobudur: Teratai di Tengah Danau. Sampai jumpa di ESK berikutnya!

Narasumber dan Peserta ESK-23 2016, Yogyakarta
Narasumber dan Peserta ESK-23 2016, Yogyakarta

Redaksi FGMI

Leave a comment

  • Jaringan

  • Follow Us On Instagram

  • Crown palace Blok C No. 28
    Jl. Prof. Dr. Supomo SH. No 231
    Tebet, Jakarta 12870

    Telp:(021) 83702848 - 83789431
    Fax: (021)83702848
    Email: sekretariat@fgmi.iagi.or.id