Rekam Jejak Kebakaran Hutan di Indonesia

Gambar 1. Ilustrasi kebakaran hutan. Sumber: https://pixabay.com/

Kebakaran hutan, dua kata yang sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita. Sebuah bencana yang dampaknya tidak hanya merugikan manusia namun juga merusak ekosistem di lingkungan sekitarnya. Tidak hanya itu, asap yang mengandung gas rumah kaca akibat kebakaran hutan juga mampu menyebabkan pemanasan global dan mempengaruhi siklus perubahan iklim dunia.

Di Indonesia sendiri, kebakaran hutan sepertinya sudah menjadi bencana langganan yang terjadi setiap tahunnya, terutama di musim kemarau, yaitu pada sekitar bulan Juni-Oktober. Wilayah Sumatera dan Kalimantan adalah dua wilayah dimana titik kebakaran hutan seringkali terjadi di Indonesia. Mungkin beberapa di antara kita masih teringat kasus kebakaran hutan yang pernah terjadi di Riau dan sekitarnya yang asapnya mencapai langit Singapura dan Semenanjung Malaysia pada 2019 lalu. Tidak hanya kasus tersebut, negara ini juga telah menorehkan beberapa catatan sejarah mengenai kebakaran hutan terbesar Indonesia yang telah dikaji oleh berbagai negara di dunia.

 

Kebakaran hutan 1982-1983

Pada tahun 1982, kebakaran hutan pertama terbesar terjadi di Kalimantan Timur. Beberapa pihak menyatakan bahwa kebakaran ini terjadi akibat kelalaian dalam mengelola hutan dan fenomena iklim El Nino. Fenomena iklim El Nino menyebabkan kekeringan parah antara Juni 1982 hingga Mei 1983. Sudah dilanda kemarau berkepanjangan, ditambah pula aktivitas pertanian tradisional, yaitu ladang berpindah. Aktivitas ladang berpindah biasanya dilakukan dengan membakar lahan baru sebagai wilayah perkebunan tanaman semusim seperti padi, ubi dan jagung. Selain itu, aktivitas pembalakan liar yang meninggalkan akumulasi limbah pembalakan juga turut serta menjadi penyebab titik kebakaran hutan terjadi. Akumulasi limbah ini kemudian banyak ditumbuhi oleh lapisan vegetasi yang padat dan mudah terbakar daripada lapisan penutup tanah yang tidak begitu rapat.

Kebakaran yang terjadi pada tahun ini telah menghanguskan lahan sebanyak 3.2 juta ha di wilayah Kalimantan Timur, dimana sebanyak 2.7 juta ha merupakan hutan hujan tropis. World Resources Institute (WRI) juga telah melaporkan bahwa kerugian yang diakibatkan oleh kebakaran hutan ini mencapai 9 miliar dolar, jumlah yang tentunya tidak sedikit. Selain kerugian ekonomi, polusi udara yang diakibatkan oleh kabut asap akibat kebakaran hutan pada tahun ini juga mengganggu transportasi darat dan udara di wilayah negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura.

 

Kebakaran hutan 1997-1998

Setelah kebakaran hutan yang melanda pada 1982-1983, telah terjadi beberapa kebakaran hutan lainnya, namun yang paling besar diantara mereka ialah pada 1997-1998 yang menghanguskan lebih dari 10 juta ha lahan di Indonesia. Kebakaran hutan pada tahun ini juga termasuk yang terparah di dunia. Kerugian ekonomi yang tercatat akibat bencana ini mencapai 10 miliar dolar. Sama seperti peristiwa kebakaran hutan 1982-1983, dampak lainnya yang berupa kabut asap dirasakan hingga ke negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Sebagai contoh, pada Agustus hingga Oktober, Singapura dan Malaysia terselimuti kabut asap akibat adanya angin yang membawa asap ke arah barat dan utara dari langit Indonesia. Kabut asap yang menyelimuti langit ini membuat Air Pollution Index (API) mencapai ke level yang berbahaya (hingga 849).

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan oleh WRI, fenomena El Nino pada era ini menjadi salah satu penyebab titik kebakaran terjadi yang kemudian tersulut oleh adanya tindakan lalai dari beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab dalam membuka lahan. Hasil citra satelit menunjukkan bahwa mayoritas titik kebakaran bermula dari areal Hutan Tanaman Industri dan perkebunan kelapa sawit. Kebakaran kemudian menjadi tidak terkendali hingga mencapai ke areal hutan di sekitarnya termasuk rawa gambut dan berbagai lahan pertanian. Saking luasnya area yang terbakar menyebabkan hujan saja tidak mampu untuk memadamkan api. Bantuan dari berbagai negara serta tekanan pemerintah terhadap industri perkebunan untuk menyetop pembalakan liar berhasil menurunkan jumlah titik-titik kebakaran.

 

Kebakaran hutan 2006

Berbeda dengan peristiwa kebakaran-kebakaran hutan pada tahun-tahun sebelumnya yang juga dipicu oleh fenomena iklim El Nino, pada 2006, fenomena El Nino yang terekam cukup rendah. Namun sayangnya, aktivitas pembakaran lahan yang tidak terkendali untuk keperluan pertanian menjadi salah satu penyebab besar kebakaran melanda di Indonesia pada tahun ini. Lebih dari 3 juta ha lahan telah terbakar dan memicu terjadinya polusi udara yang levelnya berhasil terekam melalui instrumen NASA yang disebut Measurements of Pollution in the Troposphere (MOPITT). Instrumen ini berhasil melacak level karbon monoksida di atmosfer yang menjadi salah satu indikator utama adanya polusi udara.

Selain gas karbon monoksida, gas karbon dioksida juga menjadi salah satu gas yang banyak diproduksi akibat kebakaran hutan dan lahan. Kebakaran hutan yang melanda Indonesia menempatkan negara ini menjadi negara terbesar ketiga dalam menyumbangkan gas rumah kaca ke atmosfer. Indonesia menyumbang sekitar 2 miliar ton gas karbon dioksida ke atmosfer akibat karhutla! Tingginya gas rumah kaca di atmosfer dikhawatirkan dapat mempengaruhi perubahan iklim dalam jangka waktu yang lama. Gambar 2 menunjukan perbedaan kondisi indeks vegetasi di wilayah Kalimantan Tengah, sebagai salah satu provinsi yang paling terdampak kebakaran hutan pada tahun 2006. Wilayah dengan indeks vegetasi yang tinggi ditunjukkan dengan warna hijau, sedangkan wilayah berwarna merah menunjukkan indeks vegetasi  yang rendah. Nilai indeks vegetasi yang rendah menunjukkan tingkat kerapatan vegetasi yang rendah seperti pada tanah kosong, bangunan, dan unsur non-vegetasi lainnya. Sedangkan nilai indeks yang tinggi menunjukkan keberadaan area vegetasi hijau dengan kerapatan yang tinggi, seperti yang umum terjadi di wilayah hutan. Sehingga dengan menggunakan nilai indeks ini kita bisa melihat kuantitas tutupan vegetasinya. Gambar 2 menunjukan adanya perubahan tutupan vegetasi yang cukup ketara sebelum (a. Pre Fire) dan setelah (b. Post Fire) kebakaran hutan. Wilayah yang sebelumnya memiliki tingkat indeks vegetasi yang tinggi mengalami penurunan nilai dalam kurung waktu yang relatif singkat, hal ini bisa menjadi indikasi ada perubahan lahan secara drastis yang merupakan akibat dari adanya kebakaran hutan.

Gambar 2. Perbandingan Indeks Vegetasi pra dan pasca kebakaran di Wilayah Kalimantan Tengah tahun 2006

Kebakaran hutan 2015

Lebih dari 2.6 juta ha lahan di Indonesia telah terbakar sepanjang tahun 2015. Kebakaran melanda tidak hanya di wilayah Sumatera dan Kalimantan saja, namun juga di 29 provinsi lainnya, kecuali DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Kepulauan Riau. Kalimantan Tengah menjadi area terparah dimana titik kebakaran hutan terjadi dibandingkan titik-titik kebakaran lainnya. Faktor aktivitas manusia tetap menjadi penyebab utama si jago merah muncul dan melalap habis banyak lahan di Indonesia. Selain itu, banyaknya lahan gambut yang menjadi kering di musim kemarau semakin memudahkan si jago merah untuk menghanguskan segalanya. Fenomena El Nino yang menurunkan intensitas curah hujan juga semakin memperparah bencana kebakaran hutan yang terjadi.

Hangusnya lahan akibat dilalap si jago merah ini menyebabkan hilangnya habitat orang utan dan beberapa spesies yang terancam punah lainnya. Kerugian yang berhubungan dengan lingkungan dan ekosistem ini mencapai 295 juta dolar, sedangkan kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat kebakaran ini mencapai 16 miliar dolar. Tidak hanya itu, seperti yang telah terjadi sebelum-sebelumnya, emisi gas karbon dioksida di atmosfer juga meningkat sebanyak lebih dari 15.95 juta ton per harinya. Sebuah studi yang dilakukan oleh ilmuwan dari Belanda, Inggris, dan Indonesia menyatakan bahwa sebanyak 97% dari total gas karbon dioksida yang diemisikan ke atmosfer pada 2015 berasal dari hasil kebakaran hutan dan lahan di Indonesia! Hasil riset juga menunjukkan bahwa emisi karbon dioksida pada tahun ini jauh lebih besar dibandingkan pada tahun 1997. Sama seperti pada tahun 2006, terjadi perubahan indeks vegetasi wilayah Kalimantan Tengah pada tahun 2015 yang ditampilkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Perbandingan Indeks Vegetasi pra dan pasca kebakaran di Wilayah Kalimantan Tengah tahun 2015

Kebakaran hutan 2019

Kebakaran hutan yang melanda pada 2019 menyebabkan hangusnya lebih dari 850 ribu ha lahan. Data dari Global Forest Watch menunjukkan bahwa sebanyak 42% dari total area yang terbakar merupakan lahan gambut. Kebakaran yang terjadi di lahan gambut biasanya sulit untuk dipadamkan karena material organik yang berada di dalam gambut menyebabkan api menjadi lebih besar dan menghasilkan banyak kabut asap. Terbakarnya lahan gambut ini juga menimbulkan problematika iklim jangka panjang, karena satu hektar lahan gambut yang terbakar sama seperti mengemisikan 55 metrik ton karbon dioksida per tahun! Kalimantan Tengah menjadi salah satu area yang paling banyak mengalami kebakaran hutan, mengingat area ini didominasi oleh lahan gambut.

Aktivitas pembukaan lahan dengan membakar lahan untuk kebutuhan perkebunan, terutama kelapa sawit, tetap merajalela pada tahun ini sehingga tidak mampu menahan kebakaran hutan untuk tidak terjadi di Indonesia. Perubahan indeks vegetasi wilayah Kalimantan Tengah pada tahun 2019 terlihat lebih signifikan dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya. Karena pada tahun 2019, Provinsi Kalimantan Tengah merupakan provinsi dengan area kebakaran terluas di Indonesia. Perubahan ini terlihat jelas pada perbedaan indeks vegetasi yang ditunjukkan pada Gambar 4.

Mayoritas area yang terbakar, sebanyak 70% nya berasal dari lahan gambut yang telah terdegradasi. Akibatnya, 708 juta ton gas rumah kaca yang didominasi oleh karbon dioksida dirilis ke atmosfer. Banyaknya kandungan gas rumah kaca di atmosfer menjadi salah satu pemicu terjadinya pemanasan global yang berakhir pada peristiwa perubahan iklim. Perubahan iklim ini nantinya tidak hanya akan mempengaruhi siklus cuaca di bumi, namun juga dapat mengubah ekosistem lingkungan tempat beberapa spesies hewan dan tanaman yang mulai langka berhabitat.

Dari pemaparan mengenai kasus kebakaran hutan terbesar yang pernah terjadi di Indonesia, dapat terlihat bahwa mayoritas kebakaran hutan di negara ini disebabkan oleh faktor antropogenik atau adanya campur tangan manusia. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa fenomena El Nino juga turut serta memperparah kondisi kebakaran hutan yang terjadi. Selain itu, kondisi tanah yang didominasi oleh lahan gambut juga menyebabkan hutan dan lahan menjadi lebih rentan terkena kebakaran di berbagai wilayah di Indonesia. Adanya kebijakan yang bijaksana mengenai pengelolaan hutan dan lahan gambut dipandang dapat membantu mengatasi masalah kebakaran hutan yang sering terjadi di negara ini.

Gambar 4. Perbandingan Indeks Vegetasi pra dan pasca kebakaran di Wilayah Kalimantan Tengah tahun 2019

Referensi:

Phillips, Carly. 2021. How Wildfires Affect Climate Change and Vice Versa. The Conversation. Diakses pada 25 Juli 2021. <https://theconversation.com/how-wildfires-affect-climate-change-and-vice-versa-158688>

 

Kontributor: Erina Prastyani & Adillah Alfatinah

Admin2 FGMI

Leave a comment

  • Jaringan

  • Follow Us On Instagram

  • Crown palace Blok C No. 28
    Jl. Prof. Dr. Supomo SH. No 231
    Tebet, Jakarta 12870

    Telp:(021) 83702848 - 83789431
    Fax: (021)83702848
    Email: sekretariat@fgmi.iagi.or.id