Berita Terbaru

Mengenal Letusan Tambora 1815

Tambora yang indah dengan kaldera berdiameter 7 km, kedalaman 1,2 Km (Wibosono, S.C.2017). Kaldera tambora yang angkuh dan megah, kehidupannya ramah terhadap penghuni Tambora, sumber daya alam yang melimpah, tanahnya yang subur. Hutan gunung tambora dipenuhi dengan beraneka ragam hayati, hamparan jenggala membentang subur di sebelah barat daya dan utara. Pemandangan elok Tambora membuat negeri Sumbawa menjadi suatu wisata yang wajib dikunjungi. Morfologi gunung api Kuarter – Resen berjajaran di bibir Tambora serta morfologi daratan di sepanjang pesisir (Tambora Geopark, 2014). Siapa sangka sejagat Tambora dengan keindahan yang menyejukkan mata tidak akan pernah lepas dari gelapnya kejadian 206 tahun silam. Peristiwa lama dengan kisah bencana kemanusiaan juga lingkungan yang memilukan. Letusan eksplosif bersejarah besar serta mengakibatkan kehilangan lebih dari 117.000 jiwa (Lewis J. Abrams, 2007).

Gambar 1. Kaldera Tambora, diameter 7 km, kedalaman 1,2 km, puncak tertinggi 2851 Mdpl.
Sumber: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 2017

 

Gambar 2. Gunung Tambora dari kepulauan Indonesia dan Australia.
Sumber: Peta GMT, Wessel dan Smith, 1995, Model elevasi digital etopo dari Smith dan Sandwell, 1997 dalam Lewis J. Abrams, 2007)

 

Gelegar maha dahsyat Gunung Tambora menjadi erupsi terbesar dalam sejarah ingatan manusia. Salah satu letusan gunung api Nusantara yang merubah wajah dunia. Dentuman gema erupsi terdengar di berbagai penjuru kepulauan pada 1 april hingga mencapai puncak letusan pada tanggal 10 – 11 April 1815. Letusan gunung api berupa plinian yang membentuk perlapisan endapan setebal 40 – 150 cm menutupi hampir seluruh lereng dan tersebar ke bagian barat di luar wilayah api dengan aliran piroklastik yang dikontrol oleh gravitasi bergerak ke arah barat, utara dan selatan dari pusat letusan seberat 140 Miliar Ton (ESDM, 2021). Pelepasan gas dari magma dan lava yang terpanaskan dengan kecepatan puluhan kilometer. Kolom abu dan batu apung (Plinian) yang menjulang tinggi sejauh 43 km hingga lapisan stratosfer (Gambar 4). Angin bujur memporak porandakan partikel letusan di sekeliling dunia hingga menciptakan fenomena matahari terbenam yang berwarna dan senja di negeri The Big Smoke (Gambar 3). Mengapa tidak, posisinya yang strategis dan terbentuk oleh pergerakan zona subduksi diantara 127 gunung api lainnya. Muntahan material dengan Volcano Eruption Index 7 menutupi lapisan stratosfer dengan debu dan gas vulkanis yang cukup tebal dalam waktu yang lama. Beberapa energi dari radiasi matahari hilang untuk memanaskan bumi. Penelitian yang dilakukan oleh Richard Stothers (1984) terhadap suhu udara memberikan informasi terjadi penurunan suhu udara dunia sebesar 0.4°C – 0.7°C dari normalnya sehingga berdampak pada perubahan iklim dan cuaca secara global (Ulfah, Ariyas, 2018). Langit gelap yang kelam, iklim musim dingin menjadi lebih panjang, musim hujan berkurang, dan suhu lebih dingin berakibat pada perubahan ekosistem hingga kegagalan panen (Tantri, Erlita. 2019).

Gambar 3. Lukisan yang menunjukan matahari terbenam berwarna dan senja karena aerosol vulkanik Tambora, Chichester Canal, J.M.W. Turner.
Sumber: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 2017
Gambar 4. Penyebaran dan ketebalan abu vulkanis Tambora.
Sumber: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 2017

Gempa vulkanis dan runtuh nya kawah Gunung Tambora dari ketinggian 4300 Mdpl menjadi 2851 Mdpl menciptakan gelombang tsunami di beberapa pesisir pantai seperti Sumbawa, Bima, Bali, Makassar dan wilayah Jawa Timur (Ulfah, Afriyas. 2018). Dalam hitungan hari, hujan abu yang tiada henti berakibat pada punahnya 4 kerajaan besar di Pulau Sumbawa yaitu Kerajaan Sianggar, Kerajaan Tambora, Kerajaan Papekat dan Kerajaan Dompu yang tidak tahu dimana jejaknya dan tidak sedikit nyawa yang tewas. Lapisan tebal erupsi seolah menenggelamkan tapak-tapaknya. Leli leli doro tambora (hancur Gunung Tambora), mbre afi mbre moti (banjir lava banjir lautan), mbaru mbere oi mada (berlinang air mata), banyak orang berlari ketakutan, suasana hening dan mencekam, dunia terasa dingin dan abu bertebangan, seakan gempa bumi akan datang (Gambar 5). Begitulah suasana hati masyarakat Tambora, dihantui dengan ketakutan, apakah aktivitas Gunung Tambora akan terulang lagi atau telah usai sampai disini.

Gambar 5. Rekonstruksi petaka Tambora, artis National Geography Indonesia.
Sumber: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 2017

 

Referensi:

Afriyas Ulfah, 2018. Letusan Tambora yang Merubah Iklim Dunia. https://eoffice.bmkg.go.id/Dokumen/Artikel/Artikel_20180417132214_8i7l4q_Letusan-Tambora-Yang-Merubah-Iklim-Dunia.pdf. Diakses pada 18 Agustus 2021.

Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Pengenalan Gunung Api, https://www.esdm.go.id. Diakses pada 14 Agustus 2021.

Lewis J. Abrams., Haraldur Sigurdsson. 2007. Characterization of pyroclastic fall and flow deposits from the 1815 eruption of Tambora volcano, Indonesia using ground-penetratingradar.161(4),352-361.doi:10.1016/j.jvolgeores.2006.11. 008

Tambora Geopark. 2014. Cultural Diversity Tambora. URL: https://www.tamborageopark. com/block/culture-diversity/. Diakses tanggal 15 Agustus 2021.

Tantri, Erlita. 2019. Narasi Dampak Letusan Gunung Tambora 1815. Puslit Kewilayahan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Vol. 20, No. 2.

Wibisono, Sonny C. 2017. Bencana dan Peradaban Tambora 1815. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta 2017.

Ancaman El Nino terhadap Potensi Kebakaran Hutan Indonesia di Masa Depan

Jika melirik ke rekam jejak kebakaran hutan yang pernah terjadi di Indonesia, selain adanya campur tangan manusia, nyatanya fenomena iklim seperti El Nino juga turut serta memperparah situasi kebakaran di negeri ini. Bisa dikatakan bahwa El Nino menyebabkan bencana kekeringan parah di Indonesia pada musim kemarau. Tidak hanya Indonesia saja yang terdampak bencana akibat El Nino, negara-negara lain di dunia juga terkena imbas dari fenomena iklim ini. Sebagai contoh, ketika Indonesia mengalami kekeringan akibat El Nino, daerah di sekitar Amerika Latin justru berpotensi untuk mengalami banjir bandang dan longsor karena curah hujan yang tinggi pada periode El Nino sedang terjadi.

 

Mengenal El Nino dan proses terbentuknya

El Nino merupakan salah satu fenomena iklim yang terjadi dimana pergerakan angin hangat yang seharusnya dibawa dari arah timur Samudra Pasifik (Amerika Latin) ke arah barat Samudra Pasifik (Asia Tenggara dan Australia) melemah atau justru berbalik arah (Gambar 1). Penyebab utama yang mendorong perubahan arah angin ini belum sepenuhnya dipahami oleh para ilmuwan. Fenomena El Nino menyebabkan suhu permukaan air laut (Sea Surface Temperature/SST) di daerah timur Samudra Pasifik meningkat. Meningkatnya suhu permukaan air laut membuat curah hujan di daerah ini menjadi lebih tinggi karena proses penguapan air laut yang terjadi cukup besar dibandingkan dengan kondisi normal. Tingginya curah hujan berpotensi untuk menimbulkan bencana longsor dan banjir bandang. Berbeda dengan daerah timur Samudra Pasifik, suhu permukaan air laut di bagian barat Samudra Pasifik seperti Indonesia dan Australia justru mengalami penurunan suhu yang membuat intensitas curah hujan juga menurun bahkan tidak terjadi hujan sama sekali yang berujung kepada bencana kekeringan. Fenomena El Nino biasanya terjadi setiap 2-7 tahun sekali dan dapat berlangsung selama 9 bulan sampai bahkan dua tahun lamanya. Berdasarkan analisis Oceanic Nino Index (ONI), pada 1982/1983, 1997/1998 dan 2015/2016 merupakan tahun-tahun dimana fenomena El Nino yang besar pernah terjadi (Gambar 2).

 

Gambar 1. Diagram terjadinya fenomena El Nino. Sumber: http://www.bom.gov.au/

 

Bagaimana El Nino terdeteksi?

Seperti yang telah disebutkan di atas, fenomena El Nino dapat terdeteksi melalui pengukuran suhu permukaan air laut. Pengukuran suhu permukaan air laut itu sendiri dilakukan dengan menggunakan TAO Array (Tropical Atmosphere Ocean) yang terdiri dari serangkaian instrumen pendeteksi yang ditempatkan melalui pelampung (buoys) di atas lautan Pasifik. Setiap instrumen ini berfungsi untuk mengukur suhu udara dan permukaan air laut untuk kemudian datanya ditransmisikan ke satelit setiap hari. Para ahli klimatologi biasanya memonitor suhu di daerah pada bujur 120 W-170 W untuk menentukan apakah Samudra Pasifik sedang mengalami fenomena El Nino atau tidak. Dengan adanya pengukuran suhu seperti ini, El Nino akan terdeteksi, dimana salah satu indikatornya adalah ketika suhu permukaan air laut meningkat dari kondisi normal. Pada kondisi normal, suhu permukaan air laut di bagian barat Samudra Pasifik berkisar 8 C lebih hangat dibandingkan bagian timur Samudra Pasifik. Selain itu, data harian ini dapat diakses dengan mudah dan gratis melalui website NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration).

 

Fenomena El Nino dari masa ke masa

Gambar 2. Besaran Nilai Oceanic Nino Index (ONI) fenomena El Nino dan La Nina dari tahun 1990 hingga sekarang. Nilai indeks ini digunakan untuk menyesuaikan fenomena anomali iklim El Nino dan La Nina pada skala global.

 

Fenomena El Nino yang terjadi pada 1982/1983 tercatat sebagai salah satu fenomena El Nino yang besar, namun sayangnya pada saat itu belum ada sistem monitoring yang merekam seluruh kejadiannya. Oleh karena itu, ketersediaan data-data ilmiah mengenai fenomena El Nino kala itu masih sangat terbatas. Pada saat itu, suhu permukaan air laut di bagian timur Samudra Pasifik mencapai 9-18 F di atas normal. Akibatnya, kekeringan parah melanda Indonesia dan Australia. Indonesia, yang kala itu juga sedang dilanda kebakaran hutan, keadaannya semakin diperparah dengan kondisi kekeringan yang berkepanjangan sebagai efek dari fenomena El Nino.

 

Pada 1997/1998, fenomena El Nino yang besar terjadi kembali. Namun kali ini, para ilmuwan telah dibekali sistem monitoring yang dapat merekam kejadian El Nino ini dari awal hingga akhir. Tahun ini juga merupakan tahun dimana monitoring El Nino pertama kali dilakukan secara ilmiah. Gambar 3 menunjukkan peta SST dan anomali SST dari bulan Januari 1997 hingga Desember 1998. Warna merah menunjukkan suhu yang lebih tinggi dibandingkan kurun waktu dan daerah lainnya. Pada peta anomali SST yang ditunjukkan pada Gambar 3, terlihat bahwa fenomena El Nino paling puncak di tahun ini terjadi pada bulan Oktober-November-Desember 1997. Anomali SST pada kurun waktu ini dapat terlihat lebih detail pada Gambar 4. Gambar 4 juga menunjukkan peta arah angin, dimana angin hangat mengalir menuju ke daerah timur Samudra Pasifik.

 

Gambar 3. Peta Sea Surface Temperature (SST) dan anomali SST sejak bulan Januari 1997 hingga bulan Desember 1998. Warna merah pada peta anomali SST (kanan) terlihat mendominasi pada bulan Oktober-November-Desember 1997 yang menandakan bahwa fenomena El Nino paling puncak terjadi pada kurun waktu ini.
Gambar 4. Peta SST dan arah angin pada kurun waktu Oktober-November-Desember 1997. Angin hangat dibawa dari bagian barat Samudra Pasifik yang menyebabkan suhu permukaan air laut di bagian timur Samudra Pasifik meningkat. Pada kurun waktu ini, anomali SST di bagian timur Samudra Pasifik menunjukkan perbedaan suhu hingga 4 °C.

 

Berdasarkan diagram yang ditunjukkan pada Gambar 2, fenomena El Nino yang terjadi pada tahun 2006 bukan termasuk fenomena El Nino yang besar jika dibandingkan dengan dua kurun waktu yang sebelumnya telah dibahas. Fenomena El Nino yang terjadi pada tahun ini tampak mulai terlihat pada kurun waktu Juli hingga Desember 2006 (Gambar 5). Perbedaan suhu antara  bagian barat dan timur Samudra Pasifik pada kurun waktu ini juga tidak sebesar dua periode El Nino besar sebelumnya, yaitu hanya mencapai 1 C saja paling maksimal yang terekam pada bulan Oktober-November-Desember 2006 (Gambar 6).

 

Gambar 5. Peta SST dan anomali SST pada periode Januari 2006 hingga Februari 2007. Perbedaan suhu yang tidak begitu signifikan (1 °C) pada peta anomali SST (kanan) merupakan indikasi terjadinya fenomena El Nino yang cukup lemah.
Gambar 6. Peta SST dan arah angin pada kurun waktu Oktober-November-Desember 2006. Oleh karena fenomena El Nino pada 2006 bukan termasuk yang kuat, pergerakan angin hangat yang tampak juga tidak terlalu kuat yang menyebabkan perbedaan suhu antara bagian barat dan timur tidaklah terlalu besar.

 

Pada 2015, fenomena El Nino kembali terjadi dengan intensitas yang besar. Berdasarkan data SST yang terekam melalui TAO Array, fenomena El Nino pada tahun 2015 dimulai pada bulan Juni 2015 dan berakhir pada sekitar bulan Februari 2016 (Gambar 7). Fenomena El Nino yang terjadi pada tahun ini hampir sama besarnya dengan fenomena El Nino yang terjadi pada 1997, dimana perbedaan suhu permukaan air laut yang terekam mencapai 3 C (Gambar 8).

 

Gambar 7. Peta SST dan anomali SST dari kurun waktu bulan Januari 2015 hingga bulan April 2016. Fenomena El Nino yang terekam termasuk ke dalam kategori yang besar dimana perbedaan suhu mencapai 3 °C pada peta anomali SST (kanan).
Gambar 8. Peta SST dan arah angin pada periode Oktober-November-Desember 2015. Pergerakan angin hangat yang menuju ke arah timur Samudra Pasifik membuat daerah timur Samudra Pasifik 3 °C lebih hangat dibandingkan bagian barat Samudra Pasifik.

 

Sama seperti fenomena El Nino yang terjadi pada 2006, fenomena El Nino yang terjadi pada 2018 juga termasuk ke dalam kategori yang lemah. Gambar 9 menunjukkan peta SST dan anomali SST sejak bulan Mei 2018 hingga Agustus 2019. Berdasarkan Gambar 9, puncak fenomena El Nino pada periode ini terjadi di bulan Oktober-November-Desember 2018. Fenomena El Nino yang lemah pada tahun ini juga terlihat melalui pergerakan angin hangat ke bagian timur Samudra Pasifik yang tampak lemah pada Gambar 10. Perbedaan SST di bagian barat dan timur yang ditimbulkan akibat pergerakan angin yang lemah ini hanya mencapai 1 C.

 

Gambar 9. Peta SST dan anomali SST pada kurun waktu Mei 2018 hingga Agustus 2019. Fenomena El Nino yang terekam pada periode ini termasuk kategori lemah.
Gambar 10. Peta SST dan arah angin pada kurun waktu Oktober-November-Desember 2018. Pergerakan angin hangat menuju daerah timur Samudra Pasifik terlihat lemah sehingga tidak menyebabkan perbedaan suhu yang signifikan antara bagian barat dan timur Samudra Pasifik.

 

Pengaruh El Nino terhadap potensi kebakaran hutan

Seperti yang telah  dijelaskan sebelumnya, pada umumnya Indonesia mengalami musim kering yang panjang saat terjadinya fenomena El Nino. Kebakaran hutan atau lahan yang terjadi di Indonesia, khususnya wilayah Kalimantan dan Sumatera biasanya terjadi di sekitar bulan Agustus dan Oktober. Fenomena El Nino yang memperlama durasi musim kemarau dan mempengaruhi variabilitas curah hujan di Indonesia. Tinggi dan rendahnya variabilitas curah hujan berpengaruh terhadap keberadaan hotspot yang merupakan salah satu faktor penyebab kebakaran hutan. Selain itu fenomena ini juga menyebabkan semakin meluasnya dan memperlama durasi kabut asap akibat kebakaran lahan di Indonesia.

Salah satu peristiwa kebakaran hutan di Indonesia yang diperburuk oleh fenomena El Nino adalah kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan pada tahun 2015. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) mencatat sekitar 2,61 juta hektar lahan terbakar pada fenomena ini. Pada tahun 2015, musim kemarau yang panjang diakibatkan oleh El Nino mempersulit padamnya titik-titik hotspot dan sulitnya menghilangkan kabut asap sebagai dampak dari kebakaran hutan.

Pada tahun 2019 juga terjadi fenomena El Nino dengan dengan skala yang lebih lemah dibandingkan pada tahun 2015. Tetapi hal ini tidak mengurangi potensi kebakaran hutan di Indonesia pada tahun tersebut. Kebakaran tahun 2019 tercatat sebagai kebakaran terburuk sejak 2015. Meskipun lemah, fenomena El Nino masih membawa dampak kekeringan. Aktifnya El-Nino dengan skala lemah berdampak langsung pada sirkulasi angin timuran menjadi angin baratan akan sedikit terlambat. Kondisi ini menyebabkan keterlambatan musim hujan di sebagian besar wilayah Indonesia pada tahun 2019.

 

Gambar 11. Peta Sebaran Asap kebakaran hutan di Indonesia tahun 2015. Kabut asap menyebar hampir meliputi seluruh bagian Indonesia dengan berpusat di wilayah Sumatera dan Kalimantan.

 

Bagaimana dengan fenomena El Nino tahun ini?

Berdasarkan Gambar 2, tidak ada fenomena El Nino yang terjadi sejak tahun 2020 hingga saat ini (Juli 2021). Fenomena yang terjadi saat ini justru bukanlah El Nino, namun La Nina, yaitu fenomena yang menyebabkan bagian timur Samudra Pasifik lebih dingin dari kondisi normal, sedangkan bagian barat lebih hangat dari kondisi normal. Gambar 11 menunjukkan fenomena La Nina yang kali ini sedang terjadi, yang termasuk ke dalam kategori sedang.

 

Gambar 12. Peta SST dan anomali SST yang terekam pada periode bulan Januari 2020 hingga saat ini (Juli 2021). Berbeda dengan peta SST ketika fenomena El Nino terjadi, peta ini menunjukkan bahwa di bagian timur Samudra Pasifik menjadi lebih dingin dari kondisi normal, dimana hal ini merupakan salah satu indikasi terjadinya fenomena La Nina.

 

El Nino dan kebakaran hutan Indonesia di masa depan

Jika pada 2021 fenomena El Nino tidak terjadi, maka kekeringan berkepanjangan sebagai akibat dari fenomena El Nino kemungkinan tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan kebakaran hutan Indonesia pada tahun ini. Meskipun fenomena El Nino tidak terjadi tahun ini, bukan berarti pada tahun-tahun mendatang fenomena El Nino tidak akan muncul kembali. Sayangnya, hingga kini, belum ada yang bisa memberikan kepastian kapan fenomena El Nino akan terjadi di tahun-tahun mendatang. Oleh karena itu, analisis mengenai pengaruh fenomena El Nino dan kebakaran hutan di masa depan masih belum bisa dilakukan secara pasti. Satu hal yang pasti yang dapat dilakukan adalah memulai untuk peduli terhadap pengelolaan hutan yang sehat dan mulai meninggalkan teknik pertanian tradisional ladang berpindah, yang marak menjadi penyebab awal bencana kebakaran hutan di Indonesia terjadi.

 

Referensi:

Burton Chantelle, Betts Richard A., Jones Chris D., Feldpausch Ted R., Cardoso Manoel, Anderson Liana O. 2020. El Niño Driven Changes in Global Fire 2015/16. Frontiers in Earth Science. Vol: 8 pp 199.

What is El Nino?. Diakses pada 4 Agustus 2021. Conserve Energy Future. <https://www.conserve-energy-future.com/what-is-el-nino.php>.

Golden Gate Weather Services. El Nino and La Nina Years and Intensities. Diakses pada 4 Agustus 2021. <https://ggweather.com/enso/oni.htm>.

NASA Earth Observatory. El Nino: Pacific Wind and Current Changes Bring Warm, Wild Weather. Diakses pada 4 Agustus 2021. <https://earthobservatory.nasa.gov/features/ElNino>.

National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). What is El Nino? The El Nino Story. Diakses pada 4 Agustus 2021. <https://www.pmel.noaa.gov/elnino/what-is-el-nino>.

National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). El Nino Data Display and Delivery. Diakses pada 4 Agustus 2021. <https://www.pmel.noaa.gov/tao/drupal/disdel/>.

Rekam Jejak Kebakaran Hutan di Indonesia

Gambar 1. Ilustrasi kebakaran hutan. Sumber: https://pixabay.com/

Kebakaran hutan, dua kata yang sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita. Sebuah bencana yang dampaknya tidak hanya merugikan manusia namun juga merusak ekosistem di lingkungan sekitarnya. Tidak hanya itu, asap yang mengandung gas rumah kaca akibat kebakaran hutan juga mampu menyebabkan pemanasan global dan mempengaruhi siklus perubahan iklim dunia.

Di Indonesia sendiri, kebakaran hutan sepertinya sudah menjadi bencana langganan yang terjadi setiap tahunnya, terutama di musim kemarau, yaitu pada sekitar bulan Juni-Oktober. Wilayah Sumatera dan Kalimantan adalah dua wilayah dimana titik kebakaran hutan seringkali terjadi di Indonesia. Mungkin beberapa di antara kita masih teringat kasus kebakaran hutan yang pernah terjadi di Riau dan sekitarnya yang asapnya mencapai langit Singapura dan Semenanjung Malaysia pada 2019 lalu. Tidak hanya kasus tersebut, negara ini juga telah menorehkan beberapa catatan sejarah mengenai kebakaran hutan terbesar Indonesia yang telah dikaji oleh berbagai negara di dunia.

 

Kebakaran hutan 1982-1983

Pada tahun 1982, kebakaran hutan pertama terbesar terjadi di Kalimantan Timur. Beberapa pihak menyatakan bahwa kebakaran ini terjadi akibat kelalaian dalam mengelola hutan dan fenomena iklim El Nino. Fenomena iklim El Nino menyebabkan kekeringan parah antara Juni 1982 hingga Mei 1983. Sudah dilanda kemarau berkepanjangan, ditambah pula aktivitas pertanian tradisional, yaitu ladang berpindah. Aktivitas ladang berpindah biasanya dilakukan dengan membakar lahan baru sebagai wilayah perkebunan tanaman semusim seperti padi, ubi dan jagung. Selain itu, aktivitas pembalakan liar yang meninggalkan akumulasi limbah pembalakan juga turut serta menjadi penyebab titik kebakaran hutan terjadi. Akumulasi limbah ini kemudian banyak ditumbuhi oleh lapisan vegetasi yang padat dan mudah terbakar daripada lapisan penutup tanah yang tidak begitu rapat.

Kebakaran yang terjadi pada tahun ini telah menghanguskan lahan sebanyak 3.2 juta ha di wilayah Kalimantan Timur, dimana sebanyak 2.7 juta ha merupakan hutan hujan tropis. World Resources Institute (WRI) juga telah melaporkan bahwa kerugian yang diakibatkan oleh kebakaran hutan ini mencapai 9 miliar dolar, jumlah yang tentunya tidak sedikit. Selain kerugian ekonomi, polusi udara yang diakibatkan oleh kabut asap akibat kebakaran hutan pada tahun ini juga mengganggu transportasi darat dan udara di wilayah negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura.

 

Kebakaran hutan 1997-1998

Setelah kebakaran hutan yang melanda pada 1982-1983, telah terjadi beberapa kebakaran hutan lainnya, namun yang paling besar diantara mereka ialah pada 1997-1998 yang menghanguskan lebih dari 10 juta ha lahan di Indonesia. Kebakaran hutan pada tahun ini juga termasuk yang terparah di dunia. Kerugian ekonomi yang tercatat akibat bencana ini mencapai 10 miliar dolar. Sama seperti peristiwa kebakaran hutan 1982-1983, dampak lainnya yang berupa kabut asap dirasakan hingga ke negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Sebagai contoh, pada Agustus hingga Oktober, Singapura dan Malaysia terselimuti kabut asap akibat adanya angin yang membawa asap ke arah barat dan utara dari langit Indonesia. Kabut asap yang menyelimuti langit ini membuat Air Pollution Index (API) mencapai ke level yang berbahaya (hingga 849).

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan oleh WRI, fenomena El Nino pada era ini menjadi salah satu penyebab titik kebakaran terjadi yang kemudian tersulut oleh adanya tindakan lalai dari beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab dalam membuka lahan. Hasil citra satelit menunjukkan bahwa mayoritas titik kebakaran bermula dari areal Hutan Tanaman Industri dan perkebunan kelapa sawit. Kebakaran kemudian menjadi tidak terkendali hingga mencapai ke areal hutan di sekitarnya termasuk rawa gambut dan berbagai lahan pertanian. Saking luasnya area yang terbakar menyebabkan hujan saja tidak mampu untuk memadamkan api. Bantuan dari berbagai negara serta tekanan pemerintah terhadap industri perkebunan untuk menyetop pembalakan liar berhasil menurunkan jumlah titik-titik kebakaran.

 

Kebakaran hutan 2006

Berbeda dengan peristiwa kebakaran-kebakaran hutan pada tahun-tahun sebelumnya yang juga dipicu oleh fenomena iklim El Nino, pada 2006, fenomena El Nino yang terekam cukup rendah. Namun sayangnya, aktivitas pembakaran lahan yang tidak terkendali untuk keperluan pertanian menjadi salah satu penyebab besar kebakaran melanda di Indonesia pada tahun ini. Lebih dari 3 juta ha lahan telah terbakar dan memicu terjadinya polusi udara yang levelnya berhasil terekam melalui instrumen NASA yang disebut Measurements of Pollution in the Troposphere (MOPITT). Instrumen ini berhasil melacak level karbon monoksida di atmosfer yang menjadi salah satu indikator utama adanya polusi udara.

Selain gas karbon monoksida, gas karbon dioksida juga menjadi salah satu gas yang banyak diproduksi akibat kebakaran hutan dan lahan. Kebakaran hutan yang melanda Indonesia menempatkan negara ini menjadi negara terbesar ketiga dalam menyumbangkan gas rumah kaca ke atmosfer. Indonesia menyumbang sekitar 2 miliar ton gas karbon dioksida ke atmosfer akibat karhutla! Tingginya gas rumah kaca di atmosfer dikhawatirkan dapat mempengaruhi perubahan iklim dalam jangka waktu yang lama. Gambar 2 menunjukan perbedaan kondisi indeks vegetasi di wilayah Kalimantan Tengah, sebagai salah satu provinsi yang paling terdampak kebakaran hutan pada tahun 2006. Wilayah dengan indeks vegetasi yang tinggi ditunjukkan dengan warna hijau, sedangkan wilayah berwarna merah menunjukkan indeks vegetasi  yang rendah. Nilai indeks vegetasi yang rendah menunjukkan tingkat kerapatan vegetasi yang rendah seperti pada tanah kosong, bangunan, dan unsur non-vegetasi lainnya. Sedangkan nilai indeks yang tinggi menunjukkan keberadaan area vegetasi hijau dengan kerapatan yang tinggi, seperti yang umum terjadi di wilayah hutan. Sehingga dengan menggunakan nilai indeks ini kita bisa melihat kuantitas tutupan vegetasinya. Gambar 2 menunjukan adanya perubahan tutupan vegetasi yang cukup ketara sebelum (a. Pre Fire) dan setelah (b. Post Fire) kebakaran hutan. Wilayah yang sebelumnya memiliki tingkat indeks vegetasi yang tinggi mengalami penurunan nilai dalam kurung waktu yang relatif singkat, hal ini bisa menjadi indikasi ada perubahan lahan secara drastis yang merupakan akibat dari adanya kebakaran hutan.

Gambar 2. Perbandingan Indeks Vegetasi pra dan pasca kebakaran di Wilayah Kalimantan Tengah tahun 2006

Kebakaran hutan 2015

Lebih dari 2.6 juta ha lahan di Indonesia telah terbakar sepanjang tahun 2015. Kebakaran melanda tidak hanya di wilayah Sumatera dan Kalimantan saja, namun juga di 29 provinsi lainnya, kecuali DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Kepulauan Riau. Kalimantan Tengah menjadi area terparah dimana titik kebakaran hutan terjadi dibandingkan titik-titik kebakaran lainnya. Faktor aktivitas manusia tetap menjadi penyebab utama si jago merah muncul dan melalap habis banyak lahan di Indonesia. Selain itu, banyaknya lahan gambut yang menjadi kering di musim kemarau semakin memudahkan si jago merah untuk menghanguskan segalanya. Fenomena El Nino yang menurunkan intensitas curah hujan juga semakin memperparah bencana kebakaran hutan yang terjadi.

Hangusnya lahan akibat dilalap si jago merah ini menyebabkan hilangnya habitat orang utan dan beberapa spesies yang terancam punah lainnya. Kerugian yang berhubungan dengan lingkungan dan ekosistem ini mencapai 295 juta dolar, sedangkan kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat kebakaran ini mencapai 16 miliar dolar. Tidak hanya itu, seperti yang telah terjadi sebelum-sebelumnya, emisi gas karbon dioksida di atmosfer juga meningkat sebanyak lebih dari 15.95 juta ton per harinya. Sebuah studi yang dilakukan oleh ilmuwan dari Belanda, Inggris, dan Indonesia menyatakan bahwa sebanyak 97% dari total gas karbon dioksida yang diemisikan ke atmosfer pada 2015 berasal dari hasil kebakaran hutan dan lahan di Indonesia! Hasil riset juga menunjukkan bahwa emisi karbon dioksida pada tahun ini jauh lebih besar dibandingkan pada tahun 1997. Sama seperti pada tahun 2006, terjadi perubahan indeks vegetasi wilayah Kalimantan Tengah pada tahun 2015 yang ditampilkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Perbandingan Indeks Vegetasi pra dan pasca kebakaran di Wilayah Kalimantan Tengah tahun 2015

Kebakaran hutan 2019

Kebakaran hutan yang melanda pada 2019 menyebabkan hangusnya lebih dari 850 ribu ha lahan. Data dari Global Forest Watch menunjukkan bahwa sebanyak 42% dari total area yang terbakar merupakan lahan gambut. Kebakaran yang terjadi di lahan gambut biasanya sulit untuk dipadamkan karena material organik yang berada di dalam gambut menyebabkan api menjadi lebih besar dan menghasilkan banyak kabut asap. Terbakarnya lahan gambut ini juga menimbulkan problematika iklim jangka panjang, karena satu hektar lahan gambut yang terbakar sama seperti mengemisikan 55 metrik ton karbon dioksida per tahun! Kalimantan Tengah menjadi salah satu area yang paling banyak mengalami kebakaran hutan, mengingat area ini didominasi oleh lahan gambut.

Aktivitas pembukaan lahan dengan membakar lahan untuk kebutuhan perkebunan, terutama kelapa sawit, tetap merajalela pada tahun ini sehingga tidak mampu menahan kebakaran hutan untuk tidak terjadi di Indonesia. Perubahan indeks vegetasi wilayah Kalimantan Tengah pada tahun 2019 terlihat lebih signifikan dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya. Karena pada tahun 2019, Provinsi Kalimantan Tengah merupakan provinsi dengan area kebakaran terluas di Indonesia. Perubahan ini terlihat jelas pada perbedaan indeks vegetasi yang ditunjukkan pada Gambar 4.

Mayoritas area yang terbakar, sebanyak 70% nya berasal dari lahan gambut yang telah terdegradasi. Akibatnya, 708 juta ton gas rumah kaca yang didominasi oleh karbon dioksida dirilis ke atmosfer. Banyaknya kandungan gas rumah kaca di atmosfer menjadi salah satu pemicu terjadinya pemanasan global yang berakhir pada peristiwa perubahan iklim. Perubahan iklim ini nantinya tidak hanya akan mempengaruhi siklus cuaca di bumi, namun juga dapat mengubah ekosistem lingkungan tempat beberapa spesies hewan dan tanaman yang mulai langka berhabitat.

Dari pemaparan mengenai kasus kebakaran hutan terbesar yang pernah terjadi di Indonesia, dapat terlihat bahwa mayoritas kebakaran hutan di negara ini disebabkan oleh faktor antropogenik atau adanya campur tangan manusia. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa fenomena El Nino juga turut serta memperparah kondisi kebakaran hutan yang terjadi. Selain itu, kondisi tanah yang didominasi oleh lahan gambut juga menyebabkan hutan dan lahan menjadi lebih rentan terkena kebakaran di berbagai wilayah di Indonesia. Adanya kebijakan yang bijaksana mengenai pengelolaan hutan dan lahan gambut dipandang dapat membantu mengatasi masalah kebakaran hutan yang sering terjadi di negara ini.

Gambar 4. Perbandingan Indeks Vegetasi pra dan pasca kebakaran di Wilayah Kalimantan Tengah tahun 2019

Referensi:

Phillips, Carly. 2021. How Wildfires Affect Climate Change and Vice Versa. The Conversation. Diakses pada 25 Juli 2021. <https://theconversation.com/how-wildfires-affect-climate-change-and-vice-versa-158688>

 

Kontributor: Erina Prastyani & Adillah Alfatinah

Goa Karst Buniayu: Bentang Alam Pegunungan Karst di Bawah Endapan Aliran Piroklastik

Masih ragu untuk mengunjungi goa karst Buniayu? Selain asyik, kamu juga bisa menggali ilmu tentang pembentukan kawasan karst Buniayu lho. Wisata ini bisa menjadi salah satu alternatif untuk bermain sambil belajar tentang geologi pembentukan kawasan Karst Buniayu.

Kawasan karst Buniayu terletak di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Indonesia. Kawasan karst Buniayu merupakan kawasan karst yang sangat dominan dengan karakteristik morfologi karst, terutama keberadaan sungai bawah tanah, gua dan deretan perbukitan di kawasan pegunungan karst. Kawasan karst Buniayu secara umum memiliki sistem aliran bawah tanah dalam bentuk peronggaan atau gua dan rekahan yang menyebabkan kawasan karst Buniayu memiliki kompleksitas morfologi dan ciri geologi yang menarik untuk geowisata.

Kawasan karst Buniayu terletak pada bagian Selatan Kabupaten Sukabumi. Pada Kawasan karst Buniayu didominasi oleh batugamping terumbu. Berdasarkan hasil pengamatan batugamping yang singkap membentuk morfologi karst terutama pada kawasan Buniayu, selain itu pada satuan ini dijumpai aliran sungai bawah tanah dan fitur-fitur yang ada pada kawasan gua karst seperti stalaktite dan stalakmite.

Berdasarkan Clements dan Hall (2007) menjelaskan aktivitas vulkanik yang terjadi pada Selatan Pulau Jawa terhenti pada kala Miosen Tengah yang dicirikan dengan tidak terbentuknya endapan hasil material vulkanik yang menyebabkan terendapkan Batugamping di Kawasan karst Buniayu pada Miosen Tengah dan tumbuh di atas Satuan Breksi pada formasi jampang pada lingkungan Neritik Tengah yang bersumber dari arah utara serta pengendapan karbonat diatas busur pegunungan selatan.

Keunikan bentang alam dan sejarah pembentukan goa karst Buniayu tentu menjadi daya tarik sendiri bagi para geologis maupun mahasiswa yang ingin belajar. Selain itu keindahan alam di dalam goa juga sangat menarik bagi kamu yang memang menyukai wisata alam. Pilihan berwisata di goa karst Buniayu adalah pilihan tepat yang tentu saja anti-mainstream.

Dalam upaya peningkatan serta pengelolaan pariwisata berbasis pendidikan dan konservasi untuk melindungi sumber daya alam harus dilaksanakan dengan pelayanan yang baik bagi wisatawan yang berkunjung dengan membuat jalur geotrail yang aman dengan jalur evakuasi yang tepat karena kawasan tersebut merupakan kawasan gua dan air terjun terjal untuk mengurangi resiko bahaya. Selain itu, hasil kajian memberikan hasil interpretasi berupa papan penjelasan fitur geologi yang disertai dengan peta risiko bencana geologi.

Bagimana? Semakin tertarik untuk mengunjungi goa karst Buniayu? Tapi ingat ya, pastikan kondisi tubuh sehat dan bugar sebelum kamu memutuskan untuk menjelajahi goa Buniayu ini. Menjelajahi goa karst Buniayu juga sangat aman bagi kamu yang masih pemula, karena akan ada pemandu dan fasilitas penyewaan alat untuk susur goa. Kabar baiknya, goa karst Buniayu tetap buka walau ditengah masa pandemi Covid-19. Tapi kamu harus tetap mematuhi protokol kesehatan dan kebijakan pengelola kawasan wisata ya.

 

Penulis : Bagaskara Wahyu P, Eka Fitriani, Muhammad Fariz AJ

Wisata Sambil Belajar di Kawasan Geowisata Goa Karst Buniayu

Berwisata di era modern saat ini menjelma seakan menjadi salah satu kebutuhan pokok manusia. Salah satu jenis wisata yang menjadi favorit dan hype lagi khususnya bagi kawula muda seperti kamu, iya kamu, adalah berwisata bertema alam. Ini tergambar dengan banyaknya postingan anak muda seperti kamu dengan tagline need vitamin sea “, “ sudah rindu ketinggian “, dan masih banyak lagi. Jika wisata ke gunung atau pantai sudah terlalu mainstream, kamu bisa mencoba berwisata menyusuri perut bumi di Goa Kawasan Karst Buniayu.

Beberapa goa yang ada di kawasan Karst Buniayu antara lain Goa Caringin, Goa Landak, Goa Cipicung dan Goa Buniayu. Selain menikmati keindahan struktur goa, kamu juga bisa sembari belajar geologi pembentukan goa dan hal menarik lainnya di kawasan karst Buniayu.

Lokasi Goa Buniayu sendiri berada di Desa Kerta Angsana, Sukabumi, Jawa Barat. Kamu harus menempuh perjalanan setidaknya satu jam untuk bisa menikmati keindahan Goa Buniayu yang berjarak 28 km dari Kota Sukabumi. Perjalanan menuju Kawasan Goa Buniayu dapat ditempuh menggunakan kendaraan pribadi (motor dan mobil) atau menggunakan moda transportasi umum. Untuk masuk ke kawasan Goa Buniayu kamu hanya butuh merogoh kocek Rp 5.000/orang dan kamu sudah bisa menikmati pemandangan khas kawasan karst. Jika ingin mencoba masuk ke goa horizontal maka dikenai biaya Rp 20.000/orang. Sedangkan jika kamu ingin lebih menantang adrenalin, kamu bisa mencoba paket goa vertikal lengkap dengan pemandu dan perlengkapan susur goa seharga Rp 150.000/orang. Perlengkapan yang akan kamu dapatkan juga cukup lengkap seperti wear pack anti air, helm, sepatu boot, senter kepala, sarung tangan dan yang lainnya.

Saat menyusuri lorong-lorong Goa Buniayu, kamu akan disuguhkan pemandangan unik aneka ornamen goa yang cantik Seperti stalaktit dan stalagmit, drapery, gourdam, canopy, flowstone dan column. Di dalam goa kamu juga akan menemukan sungai bawah tanah sepanjang 2 meter dengan kedalaman bervariasi antara 0,5 hingga 3 meter. Dengan keunikan-keunikan tersebut, berwisata di Goa Buniayu sangat sayang untuk kamu lewatkan. Selain menarik, kamu juga bisa berwisata sambil belajar menyusuri Goa Karst Buniayu.

Berwisata di Goa Buniayu terlihat asyik dan anti mainstream, karena kamu akan mendapatkan banyak pengalaman yang tidak akan kamu temukan saat berwisata di destinasi lain. Tapi, untuk berwisata di Goa Karst Buniayu pastikan kamu dalam kondisi sehat dan bugar. Disarankan untuk berolahraga terlebih dahulu sebelum berkunjung dan menyusuri lorong-lorong Goa Buniayu. Karena kondisi goa yang cukup terjal dan berlumpur. Jadi kamu akan bisa maksimal menikmati dan mengabadikan momen menyusuri keindahan perut bumi di Goa Buniayu.

Penulis : Bagaskara Wahyu P, Eka Fitriani, Muhammad Fariz AJ

Pemanfaatan Danau Baru di Kota Kupang Pasca Badai Seroja

Empat tipe utama doline yang tidak langsung berasal dari larutan batuan di atau dekat permukaan: (A) collapse doline, akibat runtuhnya atap gua; (B) doline subsidence, dibentuk oleh pengendapan batuan tak larut mengikuti larutan batuan larut yang mendasarinya; (C) intersection doline, yang berasal dari pengosongan tambalan gua fosil tua akibat perpotongan dengan permukaan topografi; (D) cover doline, yang telah berkembang dalam batuan tidak koheren yang mengubur batuan yang larut atau sebagian mengisi depresi karst. (sumber: Sauro, Ugo. (2012). Closed Depressions in Karst Areas. 10.1016/B978-0-12-383832-2.00133-X. https://www.researchgate.net/publication/)

Peristiwa badai Seroja yang terjadi awal April lalu masih membekas di benak masyarakat kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Pasalnya badai tersebut telah merenggut banyak korban jiwa dan kerugian materi lainnya. Selain itu, hal lain yang membuat takjub pasca badai Seroja ini adalah munculnya danau baru seluas 2 hektar di Kelurahan Sikumana, Kota Kupang. Namun dari pernyatan Ketua Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG RI, Dr. Daryono bahwa danau ini hanya bersifat sementara atau temporer. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Provinsi Nusa Tenggara Timur Dr. Herry Kota yang menyatakan jenis ini merupakan danau Dolina. Danau Dolina merupakan fenomena alam yang biasa terjadi di wilayah dengan topografi karst. Danau ini akan kering saat musim kemarau karena proses penguapan yang tinggi.

Potensi Usaha Baru
Tentu saja fenomena alam yang terjadi begitu cepat ini sangat menarik perhatian masyarakat sekitar kota Kupang. Sehingga banyak warga sekitar yang berbondong-bondong datang untuk melihat fenomena alam tersebut. Banyak warga lokal maupun luar kota yang datang untuk melihat langsung danau tersebut. Mereka berfoto dan menikmati keindahan alam yang baru saja terbentuk.
Tentu saja hal ini membuka potensi wisata baru di Kelurahan Sikumana, Kota Kupang. Selain itu, hal ini memberikan peluang usaha baru bagi masyarakat sekitar. Karena mereka bisa membuka usaha baru seperti warung di sekitar danau untuk memberikan kenyamanan dan kebutuhan para wisatawan.

Pemanfaatan Air Danau
Sebagian besar masyarakat masih belum memiliki pengetahuan apakah air dari danau yang baru terbentuk layak konsumsi. Air merupakan salah satu sumber daya alam yang paling banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Air memiliki kadar standar baku mutu untuk dapat dikonsumsi, dimana menurut PERMENKES No.492/Menkes/Per/IV/2010, standar kualitas air minum yaitu tidak boleh mengandung TDS(Total Dissolve Solid) lebih dari 500mg/l.

Sumber : Lampiran Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (http://www.kelair.bppt.go.id/sitpapdg/pp822001.htm)

Melihat kondisi geografi Indonesia bagian timur yang merupakan daerah dengan dominasi adalah daratan kapur perlu dilakukan pengkajian terhadap baku mutu air konsumsi diwilayah tersebut. Air dengan kandungan kapur memiliki ciri yaitu memiliki pH lebih dari 8, dimana air konsumsi memiliki standar pH tidak boleh lebih dari 8. Air kapur apabila dimasak akan menimbulkan sisa bercak putih pada panci.
Air kapur apabila diminum akan meninggalakn rasa pahit. apabila dikonsumsi dalam jangka pendek akan minumbulkan muntaber, diare, kolera, tipus dan disentri. Sedangkan jika dikonsumsi dalam jangka panjang, dapat menyebabkan penyakit keropos tulang, kerusakan gigi, ginjal, kandung kemih bahkan kerontokan rambut. Pada tingkat kronis, jika air yang dikonsumsi mengandung kadar kapur yang tinggi bisa menyebabkan kanker.
Air yang mengandung kapur dapat dikonsumsi dengan cara direbus dengan benar. Merebus air tersebut selama sekitar 20-30 menit, saat air mendidih zat kapur akan mengendap dan ada pula yang mengambang.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa sumber mata air baru yang muncul pasca badai Seroja ini masih diperlukan kajian lebih lanjut untuk dapat layak konsumsi bagi masyarakat. Namun dampak positif lainnya, danau yang baru terbentuk ini bisa menjadi peluang wisata dan usaha baru bagi masyarakat sekitar. Selain itu juga dapat dimanfaatkan untuk pengairan perkebunan atau sawah di sekitar danau.

Danau Baru Pasca Badai Tropis Seroja

Pada awal Bulan April 2021 lalu, Provinsi Nusa Tenggara Timur mengalami badai siklon tropis Seroja yang juga menerjang Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kejadian tersebut mengakibatkan bencana alam seperti tanah longsor serta banjir bandang. Pasca Badai Seroja menerjang, Di Daerah Tankolo, Sikumana dan Kelurahan Batuplat, Kecamatan Alak, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, terdapat fenomena munculnya Danau baru di sekitar Permukiman warga.
Berdasarkan data yang didapatkan, faktor penyebab terjadinya kemunculan danau baru pasca badai di Kota Kupang, NTT adalah Cuaca ekstrem yang terjadi akibat adanya siklon tropis Seroja yang melanda beberapa wilayah di Indonesia terutama di Kota Kupang dengan terjadinya meningkatnya curah hujan dengan intensitas 253,9 mm/hari (Stasiun Meteorologi Eltari) dan 230,2 mm/hari (Stasiun Klimatologi Kupang) atau keduanya termasuk kedalam kategori hujan ekstrem (Sumber data: dataonline.bmkg.go.id pada 4 April 2021).

Faktor lain adanya kemunculan sumber mata air baru di kota Kupang yang membentuk danau seluas 2 hektar ini disebabkan oleh kondisi geologi dan topografi sekitar danau tersebut terbentuk pada area bentang alam karst. Air hujan dan air permukaan yang terjadi pada saat hujan berlangsung tertampung pada suatu cekungan karst berupa doline sehingga air permukaan terakumulasi pada cekungan tersebut. Selain itu daerah sekitar danau merupakan daerah yang tersusun batugamping (CaCO3) dengan bentuklahan Karst yang membentuk proses karstifikasi.
Karstifikasi adalah suatu proses sistem pembentukan daerah bentang alam karst yang pada dasarnya berkaitan dengan pelarutan geokimia. Proses ini berkaitan dengan pelarutan massa batugamping. Badai yang terjadi dengan intensitas yang ekstrem menyebabkan batuan dibawah permukaan yang mudah larut terbawa air besar bergerak, sehingga aliran air bawah permukaan menjadi berubah. Aliran sungai bawah tanah karst ini dapat berubah dan membuat sistem aliran baru, pada saat aliran air bawah tanah keluar pada lereng akan menjadikan mata air. Air yang masuk ke dalam massa batuan, khususnya pada lereng batuan, dipengaruhi oleh siklus hidrologi. Pada daerah tropis, hujan yang terjadi dengan intensitas sedang sampai tinggi dengan kategori waktu yang cukup sering terjadi menyebabkan terjadinya aliran air fluida dangkal sebagai proses prespitasi dari air hujan yang masuk melalui permukaan.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa kemunculan Danau baru di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur dipengaruhi oleh siklon badai tropis Seroja yang mengakibatkan meningkatknya curah hujan di Daerah tersebut. Selain itu faktor kondisi geologi berupa topografi sekitar Danau berupa daerah karst dengan bentuk cekungan sehingga dapat menjadi wadah terakumulasinya air permukaan maupun air bawah permukaan (air tanah) yang berkembang akibat adanya proses hidrologi karstifikasi yang mengalir di sekitar danau yang tersusun oleh batuan berupa batugamping.

Penulis : Baniarga Prabowo, Eka Fitriani, Topan Ramadhan Sanusi

Sumber : https://kabarbesuki.pikiran-rakyat.com/berita/pr-191799933/danau-baru-terbentuk-di-kupang-ntt-usai-terjadi-badai-siklus-seroja-menurut-ahli-ini-termasuk-danau-dolina

Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) untuk menurunkan emisi CO2. Bagaimana di Indonesia?

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta orang. Sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, Indonesia juga berada di peringkat keempat sebagai penghasil Gas Rumah Kaca (GRK) terbesar pada tahun 2015. Emisi CO2 berasal dari berbagai sektor seperti yang dapat dilihat pada Gambar 1. Pada tahun 2016, Agriculture, Forestry, and Other Land Use (AFOLU) memiliki emisi CO2 638.542 Gg CO2e. Dari tahun ke tahun, sektor ini merupakan penyumbang emisi terbesar dibandingkan dengan sektor lainnya. Terutama pada tahun 2015 di mana emisi karbon sangat tinggi karena kebakaran lahan gambut yang sangat parah pada tahun itu. Kemudian diikuti oleh sektor energi dengan emisi 506.473 Gg CO2e. Perlu dicatat bahwa pemenuhan energi di Indonesia masih sangat tergantung pada bahan bakar fosil. Sektor lain yang juga menyumbang emisi karbon adalah Industrial Process and Product Use (IPPU) 53.892 Gg CO2e dan juga sektor limbah 2.940 Gg CO2e.

Gambar 1. Emisi GRK Nasional (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2018)

Dalam Sustainable Development Scenario (SDS), International Energy Agency (IEA) menganalisis beberapa opsi untuk mengurangi emisi karbon seperti yang terlihat pada Gambar 2. Di antara opsi-opsi ini, Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) adalah satu-satunya teknologi yang dapat menangkap CO2 yang telah dilepaskan ke atmosfer. Sementara teknologi lainnya merupakan tindakan mencegah peningkatan emisi karbon. Dengan kata lain, CCUS adalah teknologi paling menjanjikan yang perlu diterapkan di setiap negara terutama di Indonesia. Sebagaimana komitmen Indonesia yang dinyatakan dalam Intended Nationally Determined Contributions (INDCs) untuk Paris Agreement pada tahun 2015, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon sebesar 29% hingga 41% pada tahun 2030, termasuk pengenalan energi bersih dan terbarukan dan juga konservasi energi (The 5th ASEAN Energy Outlook, 2017).

Gambar 2. Skenario Pengurangan Emisi CO2 (International Energy Agency)

Kondisi CCUS di Indonesia saat ini

Menurut Indonesia CCS Study Working Group, saat ini Indonesia masih dalam tahap Penelitian dan Pengembangan (R&D) untuk teknologi CCUS. Namun, kecenderungan pemanfaatan teknologi ini di Indonesia difokuskan untuk peningkatan produksi sumur-sumur tua minyak dan gas yang tersebar luas di berbagai lokasi di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa pemenuhan energi dari bahan bakar fosil di Indonesia masih menjadi prioritas utama. Sedangkan dengan menggunakan CO2 sebagai EOR (Enhanced Oil Recovery) atau EGR (Enhanced Gas Recovery), emisi negatif tidak akan tercapai karena akan menghasilkan emisi karbon lainnya setelah minyak dan gas diekstraksi kembali ke permukaan. Dari skema pemanfaatan CO2 yang terlihat di Gambar 3, teknologi manakah yang paling sesuai untuk diterapkan di Indonesia dan juga memenuhi syarat emisi negatif? Sebagai Geosaintis, saat ini penulis sedang mendalami teknologi Mineral Carbonation (mengubah CO2 menjadi material karbonat) dan Sequestration (menginjekasikan kembali CO2 ke dalam formasi geologi tertentu). Penjelasan lebih detail mengenai perbandingan kedua teknologi ini akan dibahas lebih lanjut dalam artikel selanjutnya.

Gambar 3. Alur Kerja Teknologi CCUS (Integrated CO2 Network)
Referensi
  • ASEAN Centre for Energy (ACE). (2017). The 5th ASEAN Energy Outlook (AEO5). Available at: http://www.aseanenergy.org/publications
  • Best, D., Mulyana, R., Jacobs, B., Iskandar, U. P., and Beck, B. (2011). Status of CCS Development in Indonesia. Energy Procedia 4, 6152-6156. doi:10.1016/j.egypro.2011.02.624
    COP21. (2015). COP21 Paris France Sustainable Innovation Forum 2015. Available at: http://www.cop21paris.org
  • Integrated CO2 Network (ICO2N). (2015). Fact sheet about CCUS technologies. Available at: https://www.pembina.org/reports/ccu-fact-sheet-2015.pdf
  • International Energy Agency Report. (2007). Capturing CO2. IEA Greenhouse Gas R&D Programme 2007. ISBN:978-1-898373-41-4
  • Ministry of Environment and Forestry. (2018). Indonesia Second Biennial Update Report Under the United Nations Framework Convention on Climate Change. Jakarta: Directorate General of Climate Change, Ministry of Environment and Forestry.

FLASHBACK TO 1998 : REFLEKSI HARI LINGKUNGAN HIDUP SEDUNIA 2020

“The foods we eat, the air we breathe, the water we drink and the climate that makes our planet habitable all come from nature.

Yet, these are exceptional times in which nature is sending us a message:
To care for ourselves we must care for nature.

It’s time to wake up. To take notice. To raise our voices.
It’s time to build back better for People and Planet.

This World Environment Day, it’s Time for Nature.

Inilah paragraf pembuka halaman website www.worldenvironmentday.global dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia tahun 2020.

***

Halo Sobat Geos, bagaimana kabar Anda? Semoga Anda tetap sehat fisik dan mental walau di tengah situasi pandemi yang sangat berat ini. Baik Sobat, saya akan mulai artikel ini dengan pertanyaan : apakah saat pandemi seperti ini Anda masih membutuhkan makanan untuk bertenaga? masihkah Anda butuh udara untuk bernafas? dan apakah Anda masih butuh air untuk minum menghilangkan dahaga? Jika jawabannya iya, renungkanlah pertanyaan tersebut sambil Anda membaca cerita ini!.

Anak-anak generasi milenial (termasuk saya) adalah orang menyaksikan perubahan dunia yang sangat cepat sejak penghujung abad ke-20 hingga sekarang. Perubahan tersebut terjadi pada semua aspek kehidupan kita, tak terkecuali pada aspek lingkungan hidup. Untuk mengajak Anda berpikir tentang perubahan kondisi lingkungan hidup ini, saya mau mengajak anda flashback pengalaman pribadi hidup saya. Sekitar tahun 1998an, saya tinggal di batas antara kota Tangerang dengan Jakarta. Saya masih teringat kenangan saat itu, sewaktu saya masih kanak-kanak. Setiap bangun pagi selalu disambut dengan suara burung gereja yang sedang hinggap di atap rumah. Menjelang siang banyak kupu-kupu berwarna kuning menghiasi sekitar pepohonan berbunga. Sore harinya, saya dan teman-teman sangat asik menatap burung-burung (yang belum pernah kami lihat bagaimana rupanya) dan kelelawar banyak beterbangan menghiasi langit yang berwarna jingga. Malam harinya, kaki saya disambut katak yang melompat-lompat saat saya berjalan menuju rumah sepulang dari bermain atau mengaji. Terkadang saya juga bermain di dekat kanal yang airnya bersih, mengalir dan banyak ikan-ikan kecil.

Namun kenangan indah ini perlahan benar-benar hanya tinggal kenangan. Dari tahun ke tahun, apa yang saya sebutkan diatas satu persatu menghilang. Entah apa penyebabnya, namun saya yakin bahwa ini “hanyalah” rangakaian perubahan kecil yang mampu saya lihat saat itu, dari sebuah perubahan besar yang sedang terjadi namun belum bisa saya pahami sampai saya ada di usia sekarang. Apa itu? baik, saya akan coba jelaskan pelan-pelan.

Membaiknya kondisi sosio-politik-ekonomi Indonesia pasca krisis ekonomi tahun 1998 menjadikan masyarakat kita semakin maju dan menciptakan peluang baru tumbuhnya industrialisasi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Jakarta sebagai Ibukota negara yang menjadi pusat keramaian manusia, menarik perhatian para pebisnis untuk menjadikan kota ini sebagai “center of market”. Mereka kemudian memilih “pinggiran kota”, salah satunya tempat saya tinggal ini, sebagai kawasan industri baru agar dekat dan murah dalam mendistribusikan produknya ke pasaran. Pabrik-pabrik dan kompleks pergudangan pun akhirnya dibangun dengan menggusur lahan yang semulanya adalah sawah, kebun atau sekedar lahan tak berfungsi yang ditumbuhi tanaman obat dan pepohonan besar. Tak cukup sampai situ, keberadaan pabrik ini jelas memancing kedatangan kaum transmigran yang mencari lapangan pekerjaan dan kemudian bekerja sebagai pegawai kantor maupun sebagai buruh. Kedatangan mereka memaksa lahan sekitar semakin terbatas dan beralih fungsi menjadi pemukiman padat yang terdiri dari rumah pribadi maupun kontrakan untuk tempat tinggal kaum pekerja ini. Tidak hanya itu, perusahaan properti swasta pun berlomba-lomba membangun kompleks perumahan untuk menyediakan hunian kalangan eksekutif. Lahan di sekitar kami yang semulanya menghasilkan sebagian bahan makanan dan obat untuk penduduk setempat, kini sudah berubah menjadi hutan beton. Mungkin inilah sebebanya mengapa burung-burung, kelelawar, kupu-kupu sudah jarang saya ditemukan disana. Ya, karena mereka kehilangan habitat. Alih fungsi lahan adalah masalah pertama.

Sawah dan kebun yang hilang membuat penduduk setempat harus membeli beras dari yang semulanya mereka menanam padi sendiri. Masih ada sebagian sawah yang tersisa di antara pabrik-pabrik, namun sawah tersebut sudah tak lagi produktif karena pencemaran air dan tanah oleh limbah industri yang tidak diproses terlebih dahulu. Saya juga bingung mengapa tidak ada tindakan tegas pemerintah dalam menangani hal ini. Kanal yang semula airnya bening, kini airnya berwarna hitam pekat dan baunya sangat menyengat seperti bau pelumas. Kalau sudah seperti ini masihkah kita berharap ada ikan yang hidup disana?. Pencemaran air adalah masalah kedua.

Belum lagi sampah harian dalam jumlah banyak yang dihasilkan dari rumah tangga. Sampah tersebut dibuang di pusat pembuangan sampah lokal yang tidak resmi dan tidak terurus meski kini sudah ada pengelola dari pemerintah. Karena minimnya pendidikan, beberapa penduduk membakar sampahnya sendiri, dan ini menyebabkan pencemaran udara. Keberadaan pabrikpun berdampak pada kualitas udara. Penduduk merasakan adanya peningkatan kadar debu yang masuk ke rumah mereka. Kalau seperti ini berarti cukup banyak debu yang mengambang di udara bukan? Apa artinya? Jangan merasa aneh jika muncul penyakit pernafasan di kemudian hari! Pencemaran udara dan dampaknya ini adalah masalah ketiga.

Kalau kerusakannya sudah seperti ini siapakah yang harus bertanggung jawab? Apakah para “korban tidak langsung” ini  boleh menuntut hak mereka kepada para pemilik pabrik? Atau menyalahkan pemimpin yang mengizinkan adanya pembangunan kawasan industri disana? Dan jika sudah ditetapkan siapa yang harus bertanggungjawab, apakah kondisi lingkungan bisa dikembalikan seperti semula? Sepertinya sulit. Jadi bagaimana? Ya, penduduk disana hanya diminta untuk berdamai dengan keadaan! Mereka dipaksa menjadi korban pencemaran yang tak berdaya. Padahal air, udara dan tanah adalah elemen penting untuk mendukung  kehidupan mereka. Tapi, nampaknya itu tak akan ada di dalam benak kaum kapitalis. Ya, kepentingan ekonomi dan pelestarian lingkungan nampaknya memang sulit untuk bersatu.

Dari kisah yang skala ruang dan waktunya sempit ini, saya mendapatkan sebuah pola dari kerusakan lingkungan, yaitu  sebagai berikut, (1) bermula dari suatu tempat menjadi tempat yang menarik perhatian orang untuk tinggal disana, (2) orang-orang berdatangan dan hampir/mencapai titik over-populated, (3) adanya perubahan fungsi lahan, dan (4) menurunnya kualitas lingkungan karena pencemaran dan sudah tidak hadirnya elemen pendukung lingkungan.

Dengan demikian, saya dapat meringkas bahwa kerusakan ini bermula dari izin yang diberikan oleh pemimpin yang berwenang kepada pebisnis untuk mengalihfungsikan lahan. Hal ini memunculkan efek domino hingga menimbulkan kerusakan lingkungan karena ulah pebisnis yang tidak bertanggungjawab selama eksekusinya.

Saya rasa apa yang saya ceritakan di atas adalah hal yang lumrah terjadi di kota-kota yang mengalami industrialisasi di Indonesia seperti Karawang, Sidoarjo, dan Pasuruan. Mungkin pinggiran kota di negara-negara Emerging 7 lainnya juga merasakan hal yang sama. Yuk kita bersuara! (YBM)

(Konten dari artikel ini menjadi tanggungjawab penulis seutuhnya)

oleh : Yan Bachtiar Muslih

Divisi LITBANG FGMI

Fakta Menarik Jatibarang

Jatibarang Sub-basin according to Amril, Sukowitono, and Supriyanto. (1991)
  • Pertama kali ditemukan pada tahun 1941
  • Hingga kini, terdapat lebih dari 140 sumur pada Sub-Cekungan Jatibarang
  • Berupa half-graben system yang berlokasi di antara Sunda microplate dengan India Australia subdcution, dengan keberadaan pada back-arc (Adnan, et.al., 1991)
  • Menurut Clements dan Hall (2007), Formasi Jatibarang sebagai formasi penghasil hidrokarbon, terbentuk pada Oligosen Awal. Formasi terbentuk pada half-graben berorientasi Utara-Selatan. Sementara menurut Martodjojo (2003), Formasi Jatibarang berumur Cretaceous-Eocene.
  • Arpandi dan Padmosoekismo (1975) dalam Martodjojo (2003) menyatakan Formasi Jatibarang menerus dari selatan Jakarta hingga lepas pantai Cierbon di sebelah timur.
  • Formasi Jatibarang memiliki ketebalan lebih dari 1200 m dan mengalami penipisan pada bagian Barat dari Cekungan Jawa Barat Utara.
  • Masih menurut Clements dan Hall (2007), pembentukan Sub-Cekungan berkaitan ekstensi yang tidak berkaitan dengan subduksi pada bagian Selatan Jawa, hal ini dikarenakan sumbu subduksi dan ekstensi pada Sub-Cekungan Jatibarang berlainan arah. Dengan demikian pula, diinterpretasikan bahwa Formasi Jatibarang merupakan hasil fissure eruption, dan bukan strato volcano pada umumnya.
  • Dalam disertasi Martodjojo (2003), disebutkan bahwa Formasi Jatibarang Yang pertama adalah batuan beku dan yang kedua adalah tufa. Batuan beku terdiri dari basalt, andesit. Batuan tufa terdiri dari tufa vitrik atau tufa gelas, tufa lithik serta tufa kristal.
  • Sistem petroleum yang dikemukakan oleh Adnan, et.al. (1991) adalah Sub-Cekungan Jatibarang sebagai reservoir dengan Formasi Talangakar hadir sebagai batuan induk. Formasi Talangakar, meskipun berumur lebih muda, yang menjadi batuan induk terletak pada bagian low dari cekungan dengan Formasi Jatibarang pada bagian high. Jalur migrasi pada cekungan adalah patahan-patahan yang hadir.
  • Jatibarang sub basin terbentuk sebagai sistem half graben yang pembentukannya di kontrol oleh patahan turun dengan arcuate pattern. Tren patahan utara – selatan terbentuk ketika subduksi berubah arah menjadi timur – barat. Ryacudu dan Bachtiar (2000) menjelaskan bahwa Jatibarang sub – basin melepaskan double bend structure dari sistem zona patahan NW-SE right-stepping strikeslip.
  • Lapangan Jatibarang sendiri merupakan salah satu penghasil minyak terbesar di Basin Jawa Barat Utara. Formasi Jatibarang ditutupi oleh Formasi Talang Akar dengan sedimen fluvio – deltaic yang tersusun atas sandstones, shale, dan coal. Formasi ini mengisi posisi terendah cekungan, oleh karena itu jarang ditemukan di basement high(Sinclair et.al. 1995).

 

Jatibarang Fm. Depositional environment according to Clements and Hall (2007)

 

  • Jaringan

  • Follow Us On Instagram

  • Crown palace Blok C No. 28
    Jl. Prof. Dr. Supomo SH. No 231
    Tebet, Jakarta 12870

    Telp:(021) 83702848 - 83789431
    Fax: (021)83702848
    Email: sekretariat@fgmi.iagi.or.id