ESK 28 – Mempelajari Proses dan Melihat Produk : “Yang Tersingkap adalah Teka-Teki dan yang Terkubur adalah Misteri”

Sabtu, 29 April 2017, FGMI sukses melaksanakan kegiatan Experience Sharing Knowledge ke-28 yang bertempat di kantor Conoco Phillips, Gedung Ratu Prabu II. Seperti biasanya, kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan wawasan para geosaintis muda Indonesia ini dihadiri oleh peserta dari kalangan profesional muda dan mahasiswa. Suatu kesempatan berharga bagi peserta ESK ke-28 ini, karena pembicara adalah researcher yang berpengalaman di bidangnya dan berhasil mempresentasikan hasil penelitian yang konteksnya merupakan “gaya baru” bagi dunia geosains di Indonesia.

Kedua pembicara tersebut antara lain Iqbal Fardiansah dan Leon Taufani. Keduanya berasal dari kelompok riset independen bernama GeoPangea Research Group Indonesia (sebelumnya kelompok riset ini berafiliasi UPN “Veteran” Yogyakarta). Iqbal Fardiansyah membawakan materi mengenai “Quantitative of Modern Fluvial Morphology and Experimental Stratigraphy”, sedangkan Leon Taufani membawakan materi dengan topik lain “Digital Outcrop Analogue for Geological Modelling and Reservoir Characterization”. Kedua topik ini menitikberatkan pada pemahaman dasar seorang geologist dalam merekontruksi keadaan bawah permukaan dengan suatu analog model.

Sebelum presentasi dimulai, Bondan Ramadan sebagai ketua pelaksanan kegiatan menyampaikan sambutan kepada para peserta, dan kemudian kegiatan resmi dibuka pada pukul 08.30 WIB oleh Nur Cholis, ketua Forum Geosaintis Muda Indonesia.

Kegiatan inti pun dimulai, presentasi diawali dengan bahasan Fluvial Morphology oleh Iqbal Fardiansyah. Salah satu poin penting yang harus dipahami oleh geologist yang terbiasa mengerjakan data bawah permukaan adalah resolusi seismik 3D belum dapat memecahkan permasalahan kompleks sedimentasi pada masa lampau, terlebih untuk lingkungan sedimentasi fluvial. Fluvial morphology meliputi channel belt, yaitu wilayah berkembangnya migrasi sungai. Channel belt sangat dikontrol oleh besar kelerengan area sedimentasi (topografi cekungan), semakin besar nilai kelerengan maka sungai menganyam (braided) akan terbentuk. Sebaliknya, semakin rendah nilai kelerengan maka sungai meandering lah yang akan terbentuk. Topografi cekungan merupakan fator yang dikontrol oleh tektonik regional, setiap tatanan tektonik akan membentuk karakteristik sedimentasi sungai yang berbeda. Untuk itu, seorang geologist yang menggunakan model fluvial pada tatanan tektonik passive margin untuk diterapkan di wilayah Indonesia merupakan suatu praktik kekeliruan. Selain itu, faktor yang mengontrol sistem sedimentasi fluvial adalah luasan area sedimentasi yang dapat mempengaruhi “keleluasaan” perkembangan channel belt.

Pembicara Pertama, Iqbal Fardiansyah yang sedang Menjelaskan tentang Fluvial Morphology.

Bang Iqbal, nama sapaan beliau, melanjutkan penjelasannya dengan memaparkan elemen arsitektur fluvial yang meliputi channel (point bar dan thalweg), levee, floodplain dan crevasse splay. Konsep dasar penyusunan material sedimen sandy grain di tubuh sungai adalah lateral accretion pada sungai meandering dan downstream accretion pada sungai braided. Bagian yang menjadi aliran air sungai (thalweg) pada akhirnya akan terisi oleh lempung (channel filling) dengan geometri channel. Hal ini yang sering menipu para exploration geologist, yakni menjadikan channel fill sebagai target pemboran padahal isinya adalah lempung. Disinilah pemahaman seorang geologist diperlukan.

Selanjutnya, materi disambung dengan bahasan experimental stratigraphy yang berisikan hasil eksperimen sedimentasi campuran pasir dan bubuk batubara dengan media Flume Tank (semacam akuarium yang di-setting) dan Stream Table Experimental Landscape. Kedua pemodelan ini bertujuan untuk mengenali proses sedimentasi, sebagaimana pada data seismik, well log dan singkapan hanyalah rekaman produk akhir. Media flume tank digunakan untuk memodelkan sedimentasi yang dikontrol oleh sesar normal dan naik turunnya muka air laut (sikuen stratigrafi) studi kasus Cekungan Kutai. Hasilnya sangat menakjubkan para peserta, dengan pemodelan skala kecil saja menunjukkan bahwa adanya perbedaan karakteristik susunan endapan secara lateral pada sisi kanan dan kiri flume tank. Skala kecil saja sudah menunjukkan kompleksitas, dan inilah kemutlakan yang terjadi dalam satu cekungan. Untuk itu, perbedaan paket sedimen secara lateral dan vertikal dalam satu cekungan wajib dikenali oleh seorang exploration geologist.

Selain itu, flume tank juga dapat digunakan untuk memodelkan arus turbid. Dalam sesi ini, pembicara menampilkan video selama eksperimen arus turbid berlangsung. Pergerakan arus turbid menuruni lereng berbeda kecepatannya pada kondisi air tawar dan air asin, ketika memasuki zona air asin kecepatan arus menurun dan pada batas transisi salinitas terbentuk awan sedimen (plume sediment) yang bergerak sejajar dengan kontak perbedaan salinitas air. Peristiwa ini dikenal dengan hypopicnal.

STEX digunakan untuk memodelkan morfologi dan paket sedimentasi mulai dari fluvial, trasitional hingga shallow marine seiring dengan naik dan turunnya muka laut. Kesimpulan menarik yang didapatkan dari eksperimen ini adalah bentuk sungai berbeda ketika muka laut turun, yakni bentuk sungai lurus dan di daerah transisi terbentuk delta, sedangkan dalam kondisi muka laut naik sungai yang terbentuk adalah sungai meandering dan di daerah transisi terbentuk estuaria. Perbedaan ini dapat membantu geologist untuk memahami persebaran fasies sedimentasi (baca : reservoir) seiring dengan perubahan muka laut.

Materi kedua yang disampaikan oleh Leon Taufani yang diawali dengan pengenalan Digital Outcrop Modelling. Insiasi awal DOM ini pada tahun 2014 terinspirasi dari paper yang dibuat oleh seorang Professor di luar negeri, GPRG berusaha mencoba menerapkannya untuk singkapan di Indonesia. Singkapan Middle Miocene of Kutai Basin yang dijadikan sebagai objek penelitian dengan pertimbangan heterogenitas fasies yang tinggi, serta terdapatnya kemenerusan ke bawah permukaan (Sumur Bongkaran) dari batuan yang tersingkap tersebut.

Pembicara Kedua, Leon Taufani yang sedang Menjelaskan tentang Digital Outcrop Modelling.

Dalam membuat model reservoir sangat penting dikenali “depositional facies as fundamental control on petrophysics. Tantangannya adalah : resolusi seismik dan well log tidak cukup untuk mengenali heterogenitas fasies. Untuk itu, pentingnya dilakukan analisis singkapan dengan metode DOM dengan tujuan mendapatkan parameter (baca : variogram) untuk kemudian diterapkan pada pengerjaan data bawah permukaan. Keuntungan dari metode ini adalah dapat memodelkan 3D tipe dan geometri reservoir dengan harga yang murah dan waktu yang efisien.

Salah satu kesulitan untuk menerapkan metode ini di wilayah Indonesia adalah dimensi singkapan yang terbatas akibat tatanan tektonik yang rumit, vegetasi yang lebat, serta kualitas singkapan yang rendah disebabkan oleh intensitas pelapukan yang tinggi. Untuk itu, metode ini sangat cocok jika diterapkan di area pertambangan untuk mendapatkan singkapan yang menerus dan akan lebih baik lagi jika singkapannya menerus di semua sisi. Dimensi singkapan harus mempunyai resolusi spasial untuk menangkap heterogenitas fasies. Ukuran singkapan yang dapat digunakan untuk analisis DOM mulai dari skala kiloan meter (analogi seismik) hingga skala puluhan meter (analogi sumur).

Data yang diambil meliputi foto digital dengan media drone (sisi pengambilan foto menggunakan prinsip stereoskopis), arus purba dan sedimentology log yang diambil pada titik-titik representatif. Sampel batuan pun diambil dengan interval 5 cm untuk menetailkan data ukuran butir. Pengolahan data menggunakan tiga perangkat lunak meliputi PhotoScan untuk menggabungkan foto, VIGS untuk membuat marker dan Petrel untuk memodelkan. Tahap interpretasi data meliputi outcrop attribute analysis, sedimentary log input, ketebalan stratigrafi, strike/dip, paleocurrent, horizon picking, fault picking (jika ada). Catatan : langsung membuat sketsa picking di lapangan agar well documented. Teknik pemodelan yang dapat digunakan ada tiga, yaitu Sequential Indicator Simulation, Object Based Technique, dan MPS.

Leon Taufani kemudian melanjutkan presentasi dengan menjelaskan hasil penelitiannya di Cekungan Kutai. Semua justifikasi marker stratigrafi dilakukan di lapangan. Marker berupa lapisan yang mengandung iknofosil glassifungites dan ophiomorpha yang menjadi penciri lingkungan pengendapan delta. Hasil pemodelan berupa model 3-D, diagram pagar dan slice horizontal di setiap marker stratigrafi. Perubahan, sebaran fasies dan arah sedimentasi dari slice horizontal tua ke muda dapat dikenali dan menujukkan dinamika sedimentasi di lingkungan delta, khususnya bagian distal dari lobe. Kelebihan pemodelan ini adalah resolusinya yang tinggi, yakni dapat menampilkan heterogenitas sampai 10 cm. Berdasarkan model yang dihasilkan, semakin tinggi net to gross batupasir maka konektivitasnya pun semakin tinggi. Selain itu, Leon Taufani menunjukkan cara mengikat hasil pemodelan dengan data petrofisika.

Demikian kegiatan ESK-28 yang telah selesai dilaksanakan. Materi yang disampaikan oleh kedua pembicara ini membuat kami teringat akan ungkapan “belajar cepat dari buku, belajar lengkap dari batu”. Salam Geosaintis Muda Indonesia!

Kegiatan Diakhiri dengan Foto Bersama d Narasumber dan Para Peserta

Catatan : Jika pengunjung website ini tertarik untuk melaksanakan penelitian dengan metode tersebut, dapat menghubungi Iqbal Fardiansyah (iqbal.bremen@gmail.com).

Redaksi FGMI

Leave a comment

  • Jaringan

  • Follow Us On Instagram

  • Crown palace Blok C No. 28
    Jl. Prof. Dr. Supomo SH. No 231
    Tebet, Jakarta 12870

    Telp:(021) 83702848 - 83789431
    Fax: (021)83702848
    Email: sekretariat@fgmi.iagi.or.id