August 2021

Ancaman El Nino terhadap Potensi Kebakaran Hutan Indonesia di Masa Depan

Jika melirik ke rekam jejak kebakaran hutan yang pernah terjadi di Indonesia, selain adanya campur tangan manusia, nyatanya fenomena iklim seperti El Nino juga turut serta memperparah situasi kebakaran di negeri ini. Bisa dikatakan bahwa El Nino menyebabkan bencana kekeringan parah di Indonesia pada musim kemarau. Tidak hanya Indonesia saja yang terdampak bencana akibat El Nino, negara-negara lain di dunia juga terkena imbas dari fenomena iklim ini. Sebagai contoh, ketika Indonesia mengalami kekeringan akibat El Nino, daerah di sekitar Amerika Latin justru berpotensi untuk mengalami banjir bandang dan longsor karena curah hujan yang tinggi pada periode El Nino sedang terjadi.

 

Mengenal El Nino dan proses terbentuknya

El Nino merupakan salah satu fenomena iklim yang terjadi dimana pergerakan angin hangat yang seharusnya dibawa dari arah timur Samudra Pasifik (Amerika Latin) ke arah barat Samudra Pasifik (Asia Tenggara dan Australia) melemah atau justru berbalik arah (Gambar 1). Penyebab utama yang mendorong perubahan arah angin ini belum sepenuhnya dipahami oleh para ilmuwan. Fenomena El Nino menyebabkan suhu permukaan air laut (Sea Surface Temperature/SST) di daerah timur Samudra Pasifik meningkat. Meningkatnya suhu permukaan air laut membuat curah hujan di daerah ini menjadi lebih tinggi karena proses penguapan air laut yang terjadi cukup besar dibandingkan dengan kondisi normal. Tingginya curah hujan berpotensi untuk menimbulkan bencana longsor dan banjir bandang. Berbeda dengan daerah timur Samudra Pasifik, suhu permukaan air laut di bagian barat Samudra Pasifik seperti Indonesia dan Australia justru mengalami penurunan suhu yang membuat intensitas curah hujan juga menurun bahkan tidak terjadi hujan sama sekali yang berujung kepada bencana kekeringan. Fenomena El Nino biasanya terjadi setiap 2-7 tahun sekali dan dapat berlangsung selama 9 bulan sampai bahkan dua tahun lamanya. Berdasarkan analisis Oceanic Nino Index (ONI), pada 1982/1983, 1997/1998 dan 2015/2016 merupakan tahun-tahun dimana fenomena El Nino yang besar pernah terjadi (Gambar 2).

 

Gambar 1. Diagram terjadinya fenomena El Nino. Sumber: http://www.bom.gov.au/

 

Bagaimana El Nino terdeteksi?

Seperti yang telah disebutkan di atas, fenomena El Nino dapat terdeteksi melalui pengukuran suhu permukaan air laut. Pengukuran suhu permukaan air laut itu sendiri dilakukan dengan menggunakan TAO Array (Tropical Atmosphere Ocean) yang terdiri dari serangkaian instrumen pendeteksi yang ditempatkan melalui pelampung (buoys) di atas lautan Pasifik. Setiap instrumen ini berfungsi untuk mengukur suhu udara dan permukaan air laut untuk kemudian datanya ditransmisikan ke satelit setiap hari. Para ahli klimatologi biasanya memonitor suhu di daerah pada bujur 120 W-170 W untuk menentukan apakah Samudra Pasifik sedang mengalami fenomena El Nino atau tidak. Dengan adanya pengukuran suhu seperti ini, El Nino akan terdeteksi, dimana salah satu indikatornya adalah ketika suhu permukaan air laut meningkat dari kondisi normal. Pada kondisi normal, suhu permukaan air laut di bagian barat Samudra Pasifik berkisar 8 C lebih hangat dibandingkan bagian timur Samudra Pasifik. Selain itu, data harian ini dapat diakses dengan mudah dan gratis melalui website NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration).

 

Fenomena El Nino dari masa ke masa

Gambar 2. Besaran Nilai Oceanic Nino Index (ONI) fenomena El Nino dan La Nina dari tahun 1990 hingga sekarang. Nilai indeks ini digunakan untuk menyesuaikan fenomena anomali iklim El Nino dan La Nina pada skala global.

 

Fenomena El Nino yang terjadi pada 1982/1983 tercatat sebagai salah satu fenomena El Nino yang besar, namun sayangnya pada saat itu belum ada sistem monitoring yang merekam seluruh kejadiannya. Oleh karena itu, ketersediaan data-data ilmiah mengenai fenomena El Nino kala itu masih sangat terbatas. Pada saat itu, suhu permukaan air laut di bagian timur Samudra Pasifik mencapai 9-18 F di atas normal. Akibatnya, kekeringan parah melanda Indonesia dan Australia. Indonesia, yang kala itu juga sedang dilanda kebakaran hutan, keadaannya semakin diperparah dengan kondisi kekeringan yang berkepanjangan sebagai efek dari fenomena El Nino.

 

Pada 1997/1998, fenomena El Nino yang besar terjadi kembali. Namun kali ini, para ilmuwan telah dibekali sistem monitoring yang dapat merekam kejadian El Nino ini dari awal hingga akhir. Tahun ini juga merupakan tahun dimana monitoring El Nino pertama kali dilakukan secara ilmiah. Gambar 3 menunjukkan peta SST dan anomali SST dari bulan Januari 1997 hingga Desember 1998. Warna merah menunjukkan suhu yang lebih tinggi dibandingkan kurun waktu dan daerah lainnya. Pada peta anomali SST yang ditunjukkan pada Gambar 3, terlihat bahwa fenomena El Nino paling puncak di tahun ini terjadi pada bulan Oktober-November-Desember 1997. Anomali SST pada kurun waktu ini dapat terlihat lebih detail pada Gambar 4. Gambar 4 juga menunjukkan peta arah angin, dimana angin hangat mengalir menuju ke daerah timur Samudra Pasifik.

 

Gambar 3. Peta Sea Surface Temperature (SST) dan anomali SST sejak bulan Januari 1997 hingga bulan Desember 1998. Warna merah pada peta anomali SST (kanan) terlihat mendominasi pada bulan Oktober-November-Desember 1997 yang menandakan bahwa fenomena El Nino paling puncak terjadi pada kurun waktu ini.
Gambar 4. Peta SST dan arah angin pada kurun waktu Oktober-November-Desember 1997. Angin hangat dibawa dari bagian barat Samudra Pasifik yang menyebabkan suhu permukaan air laut di bagian timur Samudra Pasifik meningkat. Pada kurun waktu ini, anomali SST di bagian timur Samudra Pasifik menunjukkan perbedaan suhu hingga 4 °C.

 

Berdasarkan diagram yang ditunjukkan pada Gambar 2, fenomena El Nino yang terjadi pada tahun 2006 bukan termasuk fenomena El Nino yang besar jika dibandingkan dengan dua kurun waktu yang sebelumnya telah dibahas. Fenomena El Nino yang terjadi pada tahun ini tampak mulai terlihat pada kurun waktu Juli hingga Desember 2006 (Gambar 5). Perbedaan suhu antara  bagian barat dan timur Samudra Pasifik pada kurun waktu ini juga tidak sebesar dua periode El Nino besar sebelumnya, yaitu hanya mencapai 1 C saja paling maksimal yang terekam pada bulan Oktober-November-Desember 2006 (Gambar 6).

 

Gambar 5. Peta SST dan anomali SST pada periode Januari 2006 hingga Februari 2007. Perbedaan suhu yang tidak begitu signifikan (1 °C) pada peta anomali SST (kanan) merupakan indikasi terjadinya fenomena El Nino yang cukup lemah.
Gambar 6. Peta SST dan arah angin pada kurun waktu Oktober-November-Desember 2006. Oleh karena fenomena El Nino pada 2006 bukan termasuk yang kuat, pergerakan angin hangat yang tampak juga tidak terlalu kuat yang menyebabkan perbedaan suhu antara bagian barat dan timur tidaklah terlalu besar.

 

Pada 2015, fenomena El Nino kembali terjadi dengan intensitas yang besar. Berdasarkan data SST yang terekam melalui TAO Array, fenomena El Nino pada tahun 2015 dimulai pada bulan Juni 2015 dan berakhir pada sekitar bulan Februari 2016 (Gambar 7). Fenomena El Nino yang terjadi pada tahun ini hampir sama besarnya dengan fenomena El Nino yang terjadi pada 1997, dimana perbedaan suhu permukaan air laut yang terekam mencapai 3 C (Gambar 8).

 

Gambar 7. Peta SST dan anomali SST dari kurun waktu bulan Januari 2015 hingga bulan April 2016. Fenomena El Nino yang terekam termasuk ke dalam kategori yang besar dimana perbedaan suhu mencapai 3 °C pada peta anomali SST (kanan).
Gambar 8. Peta SST dan arah angin pada periode Oktober-November-Desember 2015. Pergerakan angin hangat yang menuju ke arah timur Samudra Pasifik membuat daerah timur Samudra Pasifik 3 °C lebih hangat dibandingkan bagian barat Samudra Pasifik.

 

Sama seperti fenomena El Nino yang terjadi pada 2006, fenomena El Nino yang terjadi pada 2018 juga termasuk ke dalam kategori yang lemah. Gambar 9 menunjukkan peta SST dan anomali SST sejak bulan Mei 2018 hingga Agustus 2019. Berdasarkan Gambar 9, puncak fenomena El Nino pada periode ini terjadi di bulan Oktober-November-Desember 2018. Fenomena El Nino yang lemah pada tahun ini juga terlihat melalui pergerakan angin hangat ke bagian timur Samudra Pasifik yang tampak lemah pada Gambar 10. Perbedaan SST di bagian barat dan timur yang ditimbulkan akibat pergerakan angin yang lemah ini hanya mencapai 1 C.

 

Gambar 9. Peta SST dan anomali SST pada kurun waktu Mei 2018 hingga Agustus 2019. Fenomena El Nino yang terekam pada periode ini termasuk kategori lemah.
Gambar 10. Peta SST dan arah angin pada kurun waktu Oktober-November-Desember 2018. Pergerakan angin hangat menuju daerah timur Samudra Pasifik terlihat lemah sehingga tidak menyebabkan perbedaan suhu yang signifikan antara bagian barat dan timur Samudra Pasifik.

 

Pengaruh El Nino terhadap potensi kebakaran hutan

Seperti yang telah  dijelaskan sebelumnya, pada umumnya Indonesia mengalami musim kering yang panjang saat terjadinya fenomena El Nino. Kebakaran hutan atau lahan yang terjadi di Indonesia, khususnya wilayah Kalimantan dan Sumatera biasanya terjadi di sekitar bulan Agustus dan Oktober. Fenomena El Nino yang memperlama durasi musim kemarau dan mempengaruhi variabilitas curah hujan di Indonesia. Tinggi dan rendahnya variabilitas curah hujan berpengaruh terhadap keberadaan hotspot yang merupakan salah satu faktor penyebab kebakaran hutan. Selain itu fenomena ini juga menyebabkan semakin meluasnya dan memperlama durasi kabut asap akibat kebakaran lahan di Indonesia.

Salah satu peristiwa kebakaran hutan di Indonesia yang diperburuk oleh fenomena El Nino adalah kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan pada tahun 2015. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) mencatat sekitar 2,61 juta hektar lahan terbakar pada fenomena ini. Pada tahun 2015, musim kemarau yang panjang diakibatkan oleh El Nino mempersulit padamnya titik-titik hotspot dan sulitnya menghilangkan kabut asap sebagai dampak dari kebakaran hutan.

Pada tahun 2019 juga terjadi fenomena El Nino dengan dengan skala yang lebih lemah dibandingkan pada tahun 2015. Tetapi hal ini tidak mengurangi potensi kebakaran hutan di Indonesia pada tahun tersebut. Kebakaran tahun 2019 tercatat sebagai kebakaran terburuk sejak 2015. Meskipun lemah, fenomena El Nino masih membawa dampak kekeringan. Aktifnya El-Nino dengan skala lemah berdampak langsung pada sirkulasi angin timuran menjadi angin baratan akan sedikit terlambat. Kondisi ini menyebabkan keterlambatan musim hujan di sebagian besar wilayah Indonesia pada tahun 2019.

 

Gambar 11. Peta Sebaran Asap kebakaran hutan di Indonesia tahun 2015. Kabut asap menyebar hampir meliputi seluruh bagian Indonesia dengan berpusat di wilayah Sumatera dan Kalimantan.

 

Bagaimana dengan fenomena El Nino tahun ini?

Berdasarkan Gambar 2, tidak ada fenomena El Nino yang terjadi sejak tahun 2020 hingga saat ini (Juli 2021). Fenomena yang terjadi saat ini justru bukanlah El Nino, namun La Nina, yaitu fenomena yang menyebabkan bagian timur Samudra Pasifik lebih dingin dari kondisi normal, sedangkan bagian barat lebih hangat dari kondisi normal. Gambar 11 menunjukkan fenomena La Nina yang kali ini sedang terjadi, yang termasuk ke dalam kategori sedang.

 

Gambar 12. Peta SST dan anomali SST yang terekam pada periode bulan Januari 2020 hingga saat ini (Juli 2021). Berbeda dengan peta SST ketika fenomena El Nino terjadi, peta ini menunjukkan bahwa di bagian timur Samudra Pasifik menjadi lebih dingin dari kondisi normal, dimana hal ini merupakan salah satu indikasi terjadinya fenomena La Nina.

 

El Nino dan kebakaran hutan Indonesia di masa depan

Jika pada 2021 fenomena El Nino tidak terjadi, maka kekeringan berkepanjangan sebagai akibat dari fenomena El Nino kemungkinan tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan kebakaran hutan Indonesia pada tahun ini. Meskipun fenomena El Nino tidak terjadi tahun ini, bukan berarti pada tahun-tahun mendatang fenomena El Nino tidak akan muncul kembali. Sayangnya, hingga kini, belum ada yang bisa memberikan kepastian kapan fenomena El Nino akan terjadi di tahun-tahun mendatang. Oleh karena itu, analisis mengenai pengaruh fenomena El Nino dan kebakaran hutan di masa depan masih belum bisa dilakukan secara pasti. Satu hal yang pasti yang dapat dilakukan adalah memulai untuk peduli terhadap pengelolaan hutan yang sehat dan mulai meninggalkan teknik pertanian tradisional ladang berpindah, yang marak menjadi penyebab awal bencana kebakaran hutan di Indonesia terjadi.

 

Referensi:

Burton Chantelle, Betts Richard A., Jones Chris D., Feldpausch Ted R., Cardoso Manoel, Anderson Liana O. 2020. El Niño Driven Changes in Global Fire 2015/16. Frontiers in Earth Science. Vol: 8 pp 199.

What is El Nino?. Diakses pada 4 Agustus 2021. Conserve Energy Future. <https://www.conserve-energy-future.com/what-is-el-nino.php>.

Golden Gate Weather Services. El Nino and La Nina Years and Intensities. Diakses pada 4 Agustus 2021. <https://ggweather.com/enso/oni.htm>.

NASA Earth Observatory. El Nino: Pacific Wind and Current Changes Bring Warm, Wild Weather. Diakses pada 4 Agustus 2021. <https://earthobservatory.nasa.gov/features/ElNino>.

National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). What is El Nino? The El Nino Story. Diakses pada 4 Agustus 2021. <https://www.pmel.noaa.gov/elnino/what-is-el-nino>.

National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). El Nino Data Display and Delivery. Diakses pada 4 Agustus 2021. <https://www.pmel.noaa.gov/tao/drupal/disdel/>.

  • Jaringan

  • Follow Us On Instagram

  • Crown palace Blok C No. 28
    Jl. Prof. Dr. Supomo SH. No 231
    Tebet, Jakarta 12870

    Telp:(021) 83702848 - 83789431
    Fax: (021)83702848
    Email: sekretariat@fgmi.iagi.or.id